jauharieffendy.blogspot.com slide 1

Selamat datang di blog saya yang sederhana ini, sedikit ilmu yang saya punya, namun berharap dapat menjadi banyak manfaat bagi anda . . .

jauharieffendy.blogspot.com slide 2

Selamat datang di blog saya yang sederhana ini, sedikit ilmu yang saya punya, namun berharap dapat menjadi banyak manfaat bagi anda . . .

jauharieffendy.blogspot.com slide 3

Selamat datang di blog saya yang sederhana ini, sedikit ilmu yang saya punya, namun berharap dapat menjadi banyak manfaat bagi anda . . .

jauharieffendy.blogspot.com slide 4

Selamat datang di blog saya yang sederhana ini, sedikit ilmu yang saya punya, namun berharap dapat menjadi banyak manfaat bagi anda . . .

jauharieffendy.blogspot.com slide 5

Selamat datang di blog saya yang sederhana ini, sedikit ilmu yang saya punya, namun berharap dapat menjadi banyak manfaat bagi anda . . .

Recent Posts

Rabu, 30 Juli 2008

Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa di Taman Kanak-kanak


Sebagai guru Taman Kanak-kanak Anda penting memperhatikan bahwa bagi anak-anak TK bukan hasil karya yang diutamakan namun pengalaman belajar yang menyenangkan dan kaya eksplorasi yang dibutuhkan anak.

  1. Pengalaman ini akan menimbulkan kesan yang mendalam dan memberikan kesenangan, kepuasan dan kenyamanan. Hal ini dimungkinkan karena program kegiatan seni bersifat fleksibel.

  2. Rasa percaya diri adalah faktor utama dalam mencapai kesenangan dan kesuksesan dalam pengalaman seni anak.

  3. Berbagai stimulus yang dapat diberikan untuk anak-anak balita agar mereka termotivasi berkreasi seni antara lain: menyediakan material seni yang mudah dikuasai, menyediakan ruang yang nyaman untuk berkarya, dan memberi kebebasan anak untuk mengeksplorasi materi seni sesuai keinginannya.

  4. Tema yang disenangi anak-anak TK dalam berkarya seni rupa biasanya bersumber dari realitas dunia anak, misalnya anggota keluarga, lingkungan bermain, alat permainan, hewan peliharaan atau kesayangan, dongeng yang diceritakan guru, sirkus, kebun binatang, kolam renang, taman bermain dan sebagainya.

  5. Suatu pengkajian terhadap gambar anak menunjukkan hasil bahwa gambar anak dapat diklasifikasi dalam 4 kategori yakni:

    1. Gambar spontan: yakni gambar yang dibuat atas inisiatif anak sendiri sebagai suatu kegiatan bermain.

    2. Gambar bebas atau sukarela: yakni gambar yang dibuat atas permintaan guru atau orang tua atau teman namun tema dan objek gambar dipilih sendiri oleh anak.

    3. Gambar terarah: yakni gambar yang tema/topiknya sudah diarahkan.

    4. Menyalin gambar atau melengkapi gambar: yakni gambar yang telah disiapkan contohnya dalam format Lembar Kerja Siswa.

  6. Situasi/kondisi yang dapat memotivasi anak dalam berkarya dapat dilakukan melalui bermacam-macam metode pembinaan, antara lain: Metode pembinaan ekspresi, metode pembinaan kreativitas, metode pembinaan sensitivitas.

  7. Pembinaan ekspresi merupakan pembinaan proses pengungkapan perasaan termasuk ungkapan jiwa. Pembinaan ekspresi meliputi dua hal:

    1. Memberikan rangsangan kepada anak untuk mengaktifkan pengungkapan jiwa dengan cara:

      1. Pendekatan langsung pada alam dan peristiwa-peristiwa di luar kelas, misalnya: mengenal proporsi, bayangan, mengenal bermacam-macam aroma, tekstur.

      2. Pembangkitan minat berdasarkan pengalaman anak.

    2. Melatih keberanian, spontanitas dan keterampilan menggunakan bermacam-macam media ungkap, sebagai saran mengekspresikan perasaan jiwa, dengan cara:

      1. Eksplorasi: kegiatan menjelajah, mencoba-coba ide atau material lain.

      2. Eksperimen: kegiatan menemukan hal-hal baru yang didapat dalam proses mencoba berbagai media ungkap.

  8. Pembinaan kreativitas, bisa diartikan dengan kemampuan mencipta, menanggapi persoalan, memiliki keaslian serta memiliki kemampuan berpikir secara menyeluruh.

  9. Pembinaan sensitivitas berarti kepekaan rangsangan dari luar yang diserap melalui pancaindra. Cara membina sensitivitas dapat ditempuh melalui:

    1. Latihan melihat/mengamati sesuatu, misalnya mengamati macam bentuk, warna, tekstur, kemudian diserap oleh anak-anak sehingga menimbulkan berbagai tanggapan dan perasaan.

    2. Latihan meresponss pengalaman sensori, misalnya mengenali karakter macam-macam tekstur dengan meraba permukaan sesuatu benda.

    3. Mempelajari, menganalisis susunan sesuatu, misalnya: mula-mula anak mengamati susunan benda (objek) kemudian diteruskan dengan menganalisis kondisi, karakter objek, selanjutnya dicoba mengungkapkan hasil pengamatan itu.

  10. Metode pembinaan keterampilan. Keterampilan di sini meliputi segala macam teknik penggunaan serta pengenalan alat-alat atau media ungkap seni rupa.

  11. Apresiasi seni adalah kesadaran akan nilai-nilai seni. Kesadaran ini meliputi pemahaman, penghayatan, dan kemampuan untuk menghargai karya seni.


Proses Penciptaan Karya Seni Rupa di Taman Kanak-kanak

  1. Dalam proses penciptaan karya seni rupa di Taman Kanak-kanak ada 4 kategori sebagai berikut.

    1. Mengamati (seeing), yang memberi kesempatan/peluang untuk mengembangkan kepekaan persepsi (perceptual awareness) melalui kegiatan mengembangkan kemampuan pengamatan kritis.

    2. Merasakan (feeling), yang memberi peluang untuk mengembangkan “respons estetis” (Aesthetic awareness) melalui kegiatan apresiasi dan pengembangan kepekaan penilaian estetis.

    3. Berpikir (thinking), yang memberi peluang untuk mengembangkan “kemampuan mengevaluasi dan mengapresiasi”, melalui evaluasi objektif dan diskriminasi/perbedaan personal.

    4. Melakukan (doing), yang memberikan peluang untuk mengembangkan keterampilan (skills) “memanipulasi alat dan media” dalam menghadirkan “visual - form” (bentuk-bentuk visual) yang merupakan ungkapan emosi, gagasan dan perasaan.

  2. Proses penciptaan karya seni rupa melalui berpikir (thinking), bisa diartikan dengan kemampuan mengevaluasi dan mengapresiasi.

    1. Menggambar adalah media yang paling ekspresif, yang dengan langsung dapat mengungkapkan gagasan serta ide dari dalam diri seorang anak secara bebas.

    2. Dalam membuat lukisan dengan jari hal utama yang perlu diperhatikan adalah penggunaan cat yang khusus. dalam hal ini Anda dapat membeli cat-jari atau membuatnya sendiri.

    3. Sebelum membuat lukisan dengan jari, sebaiknya kertas dibasahi terlebih dahulu, agar cat dapat mengalir dengan baik.

    4. Alat lain yang dapat dilakukan untuk anak TK dalam membuat gambar yaitu dengan sedotan, yang berguna sebagai pengganti kuas.

    5. Konstruksi dibangun dengan merekatkan batang-batang ice cream yang disusun tumpang tindih.

    6. Persilangan susunan batang-batang ice cream membangun dimensi bidang yang berirama gerak ke segala arah. Hal ini dapat melatih anak dalam mengenal makna hubungan, gerak, irama, dan bidang.

Rancangan Pembelajaran Seni di TK

Pengembangan kurikulum Nasional Pendidikan Seni di TK berdasarkan (1) Kompetensi dasar, (2) Konsep pembelajaran terpadu dengan kompetensi lintas kurikulum.
Pembelajaran terpadu seni di TK dapat dilakukan dalam beberapa model, keterpaduan belajar antarbidang seni dengan melihat keterpaduan bidang kemampuan yang satu dengan yang lain.
Dalam proses pembelajaran seni TK diusahakan agar anak memperoleh beragam pengalaman baik dalam bidang seni maupun bukan bidang seni.


Evaluasi Pembelajaran Seni

Evakuasi pendidikan seni meliputi aspek: intelektual, perseptual, emosional, sosial, fisik, kreativitas dan estetika.
Penilaian diperoleh melalui: catatan harian, wawancara dengan anak dan orang yang dekat dengan anak (orang tua atau pengasuh) dan portofolio. Laporan hasil penilaian berbentuk uraian.


Apresiasi Seni di TK

Apresiasi seni adalah kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya. Apresiasi berarti pula penghargaan terhadap sesuatu, dalam hal ini penghargaan terhadap pelaku seni dan karya seni. Apresiasi seni harus ditumbuhkan dan dikembangkan pada anak.
Cara menumbuhkan apresiasi

  1. Seni musik: mendengarkan, bereksplorasi, bermain musik dan bernyanyi.

  2. Seni tari : mendengar, melihat, melihat dan mendengarkan, bereksplorasi dan menari.

  3. Seni rupa : melihat, eksplorasi, membuat/mencipta.


Pada waktu menonton pagelaran musik dan tari serta pameran seni rupa diperlukan mematuhi tata tertib. Tata tertib perlu ditanamkan pada anak dengan beberapa cara, antara lain:

  1. memberikan pengertian agar tidak mengganggu pagelaran;

  2. berbisik di telinga anak apabila ingin menyampaikan pesan, demikian sebaliknya;

  3. menyiapkan diri anak sebelum pagelaran dimulai agar menonton dengan perut terisi.


Kesadaran estetik seni adalah muara pendidikan seni yang dapat ditumbuhkan sejak usia dini sesuai dengan perkembangan anak, antara lain melalui apresiasi seni. Kesadaran estetika seni dipengaruhi faktor budaya, sosial ekonomi, pengaruh media masa, dan kemampuan berpikir fleksibel.

Sumber buku Metode Pengembangan Seni Karya Pekerti, Widia dkk.

Pembelajaran Seni Rupa pada pendidikan Dasar dan Menengah

Seni rupa merupakan hasil interpretasi dan tanggapan pengalaman manusia dalam bentuk visual dan rabaan. Seni rupa berperanan dalam memenuhi tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan manusia maupun semata-mata memenuhi kebutuhan estetik. Karya seni rupa dapat menimbulkan berbagai kesan (indah, unik, atau kegetiran) serta memiliki kemampuan untuk membangkitkan pikiran dan perasaan. Dengan memahami makna tentang bentuk-bentuk seni rupa, akan diperoleh rasa kepuasan dan kesenangan.

Seni rupa dapat dibedakan menjadi seni rupa murni, seni kriya, dan desain. Jenis-jenis seni rupa ini menunjukkan proses pembuatan dan bentuk karya yang dihasilkan, serta nama pembuatnya, yaitu seniman, kriyawan, dan desainer. Seni murni menekankan pada ungkapan pikiran dan perasaan, meliputi seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Seni kriya menekankan pada keterampilan teknik pembuatan karya, dengan hasil berupa karya kriya fungsional dan nonfungsional. Seni kriya menggunakan berbagai teknik dan media tertentu, misalnya kriya kayu, kriya logam, dan kriya tekstil. Desain menunjukkan proses pembuatan karya yang maksud dan tujuannya telah ditentukan lebih dahulu. Karya desain merupakan rancangan gambar, benda, atau lingkungan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan tertentu. Seniman atau kriawan dapat bekerja secara mandiri, sedangkan desainer bekerja untuk keperluan klien.

Pembelajaran seni rupa di sekolah mengembangkan kemampuan siswa dalam berkarya seni yang bersifat visual dan rabaan. Pembelajaran seni rupa memberikan kemampuan bagi siswa untuk memahami dan memperoleh kepuasan dalam menanggapi karya seni rupa ciptaan siswa sendiri maupun karya seni rupa ciptaan orang lain.

Melalui pengalaman berkarya, siswa memperoleh pemahaman tentang berbagai penggunaan media, baik media untuk seni rupa dwimatra maupun seni rupa trimatra. Dalam berkarya seni rupa, siswa belajar menggunakan berbagai teknik tradisional dan modern untuk mengeksploitasi sifat-sifat dan potensi estetik media. Melalui seni rupa, siswa belajar berkomunikasi melalui gambar dan bentuk, serta mengembangkan rasa kebanggaan dalam menciptakan ungkapan pikiran dan perasaannya.

Dalam pembelajaran seni rupa, peranan seni murni, kriya, maupun desain bersifat saling melengkapi dan saling berkaitan. Pembelajaran seni rupa dapat dilakukan dengan pendekatan studio, misalnya studio seni lukis, seni patung, seni grafis, dan kriya. Pembelajaran seni rupa dapat juga dipisahkan menjadi kegiatan pembelajaran seni rupa murni, kriya, dan desain.

Materi pokok seni rupa meliputi aspek apresiasi seni, berkarya seni, kritik seni, dan penyajian seni. Apresiasi seni rupa berarti mengenal, memahami, dan memberikan penghargaan atau tanggapan estetis (respons estetis) terhadap karya seni rupa. Materi apresiasi seni pada dasarnya adalah pengenalan tentang konsep atau makna, bentuk, dan fungsi seni rupa. Apresiasi seni rupa dapat mencakup materi yang lebih luas, yaitu pengenalan seni rupa dalam konteks berbagai kebudayaan.

Materi pelajaran apresiasi seni pada pendidikan Dasar dan Menengah meliputi pengenalan terhadap budaya lokal, budaya daerah lain, dan budaya mancanegara, baik yang bercorak primitif, tradisional, klasik, moderen, maupun kontemporer. Selain pengenalan bentuk-bentuk seni rupa, materi apresiasi juga meliputi pengenalan tentang latar belakang sosial, budaya, dan sejarah di mana karya seni rupa dihasilkan serta makna-makna dan nilai-nilai pada seni rupa tersebut.

Pembahasan konsep seni rupa meliputi struktur bentuk dan ungkapan (ekspresi) dalam seni murni dan hubungan bentuk, fungsi, dan elemen estetik dalam seni rupa terapan. Pembahasan tentang media seni rupa meliptui ciri-ciri media, proses, dan teknik pembuatan karya seni rupa. Selain itu, apresiasi seni juga perlu memberikan pemahaman hubungan antara seni rupa dengan bentuk-bentuk seni yang lain, bidang-bidang studi yang lain, serta keberadaan seni rupa, kerajinan, dan desain sebagai bidang profesi.

Berkarya seni rupa pada dasarnya adalah proses membentuk gagasan dan mengolah media seni rupa untuk mewujudkan bentuk-bentuk atau gambaran-gambaran yang baru. Untuk membentuk gagasan, siswa perlu dilibatkan dalam berbagai pendekatan seperti menggambar, mengobservasi, mencatat, membuat sketsa, bereskperimen, dan menyelidiki gambar-gambar atau bentuk-bentuk lainnya. Selain itu, siswa juga perlu dilibatkan dalam proses pengamatan terhadap masalah pribadi, realitas sosial, tema-tema universal, fantasi, dan imajinasi.

Mengolah media pada dasarnya adalah menggunakan bahan dan alat untuk menyusun unsur-unsur visual seperti garis, bidang, warna, tekstur, dan bentuk. Dalam mengolah media, siswa perlu diperkenalkan dengan teknik penggunaan berbagai bahan, dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan maupun kelebihan-kelebihannya. Dalam menyusun bentuk, siswa perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan bentuk sehingga menjadi gaya yang bersifat pribadi.

Dalam kritik seni, siswa dilibatkan dalam pembahasan karya sendiri maupun karya teman atau orang lain. Pembahasan karya seni rupa di sini merupakan proses analisis kritis, meliputi deskripsi, analisis, interpretasi, dan penilaian. Unsur yang dianalisis adalah gaya, teknik, tema, dan komposisi karya seni rupa. Melalui kegiatan ini, siswa dapat mengasah keterampilan pengamatan visualnya.

Pembelajaran kritik seni rupa memberikan pengenalan dan latihan menggunakan bahasa dan terminologi seni rupa untuk mendeskripsikan dan memberikan tanggapan terhadap karya seni rupa. Tanggapan ini berkaitan dengan sifat-sifat sensoris karya seni rupa, seperti aspek-aspek taktil (rabaan), spasial (keruangan), dan kinestetik (gerak). Pembelajaran kritik seni juga melatih kemampuan untuk memahami makna-makna yang disampaikan melalui simbol-simbol visual, bentuk-bentuk, dan metafora.

Selain berkarya seni rupa, materi pokok seni rupa juga mencakup penyajian karya seni rupa. Materi penyajian karya seni meliputi penyajian secara lisan di kelas dan pameran di lingkungan kelas, sekolah, bahkan juga di masyarakat. Materi pokok pameran adalah seleksi, pemajangan karya, dan publikasi. Materi pameran juga mencakup kegiatan pengorganisasian pameran, meliputi perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi pameran. ( sumber modul UT )

Menikmati karya Seni

Seni, sebuah penilaian serta persepsi yang bersifat relatif. Bahkan kadang-kadang kita memiliki perbedaan pendapat serta penilaian dari sebuah arti serta makna dari seni itu sendiri. Ketika seseorang mengatakan sebuah objek itu indah, belum tentu anggapan tersebut sama dengan anggapan kita. Dalam segi keilmuan, ilmu seni itu sendiri terdiri dari banyak bidang. Mungkin jika anda mencoba browse, banyak sekali bidang yang tergolong dalam kategori seni, seperti seni musik, seni patung, seni lukis, dan masih banyak lagi. Kemudian berdasarkan Mas Wiki, arti seni itu sendiri sangat sulit untuk dijelaskan.

Makna seni itu sendiri memang hanya dapat dinilai berdasarkan pandangan serta persepsi masing-masing individu. Tapi menurut pribadi saya sendiri, seni itu juga merupakan hasil karya serta ekspresi individu yang membuatnya, serta dinilai berdasarkan kacamata dan perasaan juga dari sisi mana setiap individu menilai objek terhadap sebuah makna seni itu sendiri. Seperti seni tato, bagi sebagian orang seni tato adalah sebuah wujud ekspresi yang menyimpan keindahan dan diabadikan pada tubuh mereka. Meskipun saya sendiri (atau mungkin anda juga begitu) mengartikan seni tato adalah seperti itu, namun bagi orang lain, mereka belum tentu akan menuangkan ekspresi tersebut pada tubuh mereka.

lukisan.JPGContoh lainnya adalah ketika terjadi sebuah perbedaan pendapat antara saya dengan orang tua saya tentang keindahan sebuah lukisan. Meskipun hanya sebuah lukisan ayam, namun saya melihat sebuah keunikan serta nilai plus dari lukisan tersebut, namun orang tua saya memberikan sebuah penilaian dari makna dan karakteristik orang yang melukis lukisan tersebut. Huff…, benar-benar membingungkan. Tapi ternyata itulah sebuah seni, selain itu sebuah pembuktian bahwa terkadang sebuah objek tidak selalu memiliki arti atau makna yang sama. Mungkin anda akan merasakan hal tersebut ketika melihat sebuah keindahan dari sebuah karya seni, atau mungkin ketika anda berada pada Gallery Seni. Menikmati suasana ketika berada pada Gallery Seni memang sangat mengasyikkan, image terhadap ‘keindahan’ menyelimuti setiap objek yang ada di dalamnya. Tapi bagi orang yang tidak menyukai seni, tentu itu tidak akan berpengaruh.

Seni dan keindahan adalah satu, tapi belum tentu semua seni itu indah.

Islam dan Seni Rupa



Seberapa besarkah pengaruh Islam terhadap kesenian di Indonesia? Ada anggapan, kedatangan Islam di kepulauan Nusantara tak banyak mempengaruhi aspek-aspek kesenian yang ada di negeri ini, kecuali kaligrafi dan arsitektur mesjid.

Pada zaman Islam, saat mayoritas penduduk Indonesia telah memeluk Islam, negeri kepulauan ini seolah-olah tak punya hasil-hasil seni yang mengesankan seperti pada zaman megalitikum, di mana terdapat kebudayaan batu besar yang halus dan keahlian membuat perkakas upacara dari perunggu. Kesenian juga mencapai reputasi yang mengesankan semasa Hindu-Buddha, ketika penduduk di Jawa dan Bali membangun candi-candi dengan arsitektur yang mengagumkan, yang salah satunya merupakan monumen dunia dan salah satu keajaiban dunia (Candi Borobudur). Lalu, semasa kolonialisme Eropa, orang Belandalah yang memperkenalkan arsitektur yang hingga kini tetap dikagumi, juga memperkenalkan seni lukis Barat yang hingga kini masih populer, yaitu cat minyak di atas kanvas. Semua itu masih ditambah hambatan yang dialami para seniman Islam sendiri, yang membatasi diri untuk tidak menciptakan karya-karya yang “tak Islami”. Berlawanan dengan paham ekspresi kebebasan yang dianut kebanyakan aliran seni, kesenian yang dianggap Islami justru membatasi diri dalam hal kreasi maupun ekspresinya, misalnya, tak boleh melukiskan figur makhluk hidup, juga tak boleh melukiskan wujud Nabi Muhammad. Akibatnya, banyak orang beranggapan, Islam tak mendukung seni rupa. Mereka mengacu kepada hadis (hadith), salah satu rujukan mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad, yang menyebutkan larangan melukis binatang, membuat patung, memotret, dan lain-lain. Walhasil, kita nyaris tak melihat adanya kesenian yang disebut seni rupa Islam, selain kaligrafi arab dan arsitektur mesjid. Tapi, apakah yang dimaksud dengan kesenian Islam? Apakah Islam itu mengajarkan kesenian, sebagaimana kita dapati dalam Hinduisme, Buddhisme, atau Katolik Roma? Mari kita berupaya untuk memahami hubungan antara agama dan seni, dan mencoba mencairkan ketegangan yang ada di antara dua wilayah ini. Pertama, tinjauan seputar terminologi. Apakah yang dimaksud dengan seni rupa Islam? Seni rupa dan Islam adalah dua kategori yang berbeda. Seni rupa, sejauh cakupan makna yang membatasinya, tentu tak akan melampaui wilayah yang lebih besar daripada budaya, karena seni adalah bagian dari kebudayaan manusia. Seni rupa adalah kreasi manusia, yang artinya berasal dari kebebasan manusia untuk berkarya. Islam, berbeda dengan seni, bukanlah kebudayaan yang merupakan hasil kreasi manusia. Islam adalah seperangkat aturan dari Allah yang diturunkan kepada manusia agar ia mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Karena Islam bukan kebudayaan, maka yang disebut “kesenian Islam” tentunya tidak mengacu kepada jenis budaya tertentu yang bersifat lokal atau etnik, seperti kesenian Bali (contohnya, lukisan Bali) atau kesenian Timur Tengah (semisal orkes gambus). Yang dinamakan kesenian Islam tentunya kesenian yang setidaknya tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah maupun akhlak Islam. Kesenian ini bisa berupa apa saja sesuai konteks geokultural tempat kesenian itu berasal, juga sesuai komunitas pendukungnya (tradisional, modern, atau kontemporer). Dia bisa berupa kesenian lokal seperti lukisan kaca khas Cirebon atau pun instalasi karya alumni perguruan tinggi seni. Karena Islam bukanlah entitas budaya tertentu, akan lebih tepat bila menjelaskan kesenian yang dimaksud secara ajektifal yaitu sebagai “kesenian yang islami”. Kesenian yang dimaksud mengandung --atau setidaknya tak menyalahi-- nilai-nilai Islam, meski tak berasal dari etnik atau komunitas yang berafiliasi dengan agama Islam. Tari perut, meski berasal dari daerah berpenduduk muslim di Timur Tengah, bukanlah kesenian yang islami karena bertentangan dengan nilai-nilai akhlak Islam. Sebaliknya, ketika kita melihat karya-karya sketsa Romo Mudji Sutrisno (lahir 1955), seorang pastur yang selain menulis juga mulai menggeluti bidang seni rupa, mereka justru tampak islami sesuai penafsiran tertentu mengenai seni rupa Islam. Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menggelar pameran sketsanya pada pertengahan hingga akhir Januari 2007 dengan tema Dimensi Estetika Mudji Sutrisno. Digelar di Galeri Nasional Indonesia, pameran menampilkan sekitar 180-an sketsa tentang gereja-gereja di Eropa Selatan dan Rusia. Peraih gelar PhD dari Universitas Gregoriana, Roma (1986) ini banyak menampilkan bangunan-bangunan gereja dan lingkungan alam di sekelilingnya, tanpa menghadirkan figur manusia apalagi figur telanjang yang biasanya banyak menghiasi bangunan-bangunan ibadah bersejarah di Eropa. Dalam pandangannya tentang estetika, Mudji menyebutkan bahwa meskipun pada masa kekuasaan Islam (kekhalifahan di Suriah abad ke-7 M) masih ada sikap saling menerima antara umat Islam dan Kristen, di kalangan umat Kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak ikon dan gambar di gereja-gereja dan tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, seperti termuat dalam buku Estetika, Filsafat Keindahan karya Dr Fx Mudji Sutrisno dan Prof Dr Christ Verhaak (Yogyakarta 1993), ada rasa curiga di kalangan tertentu dalam umat Kristen sendiri terhadap penghormatan ikon dan patung Kristus seakan-akan “keilahian-Nya kurang diakui”. Kelompok yang melawan ikon-ikon suatu saat didukung oleh kaisar, lalu terjadilah ikonoklasme atau penghancuran ikon besar-besaran. Sejarah Kristen mengenal iconoclasm, ‘penghancuran ikon’ yaitu suatu doktrin tertentu pada abad ke-8 dan ke-9 yang melarang segala bentuk penggambaran material dalam agama Kristen. Asal mula gerakan yang menentang pemujaan terhadap imaji (images) disebut-sebut sebagai akibat pengaruh dari agama Islam yang pada masa itu memang melarang semua gambar maupun patung berbentuk manusia. Namun, sesungguhnya di kalangan Kristen sendiri telah muncul ketidaksukaan terhadap imaji orang-orang suci yang ditakutkan bakal dipuja sebagai berhala. Sekte Paulicians dalam doktrinnya mengatakan bahwa bentuk-bentuk agama secara eksternal, sakramen, ritus, benda keramat, harus dimusnahkan. Mereka juga melarang penghormatan kepada salib, karena (sebagaimana dipercaya umat Islam), Yesus tak pernah disalib (Lihat situs Catholic Encyclopedia di www. newadvent. org). Tapi, benarkah Islam melarang penggambaran manusia? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tinjauan seni berdasarkan syariat (hukum Islam). Kontroversi tentang larangan membuat gambar, patung, atau fotografi yang melanda hampir di seluruh dunia muslim, sebetulnya berpangkal dari penafsiran terhadap larangan yang dimaksud. Jika para ulama dan penulis muslim tampak sependapat dalam satu hal, yaitu tentang adanya beberapa hadis yang melarang penciptaan sesuatu (gambar atau patung), mereka tidak menyebutkan adanya larangan yang sama yang berasal dari ayat Al-Quran --kitab suci yang wajib diimani sebagi pegangan sekaligus pelajaran bagi orang beriman. Hadith atau hadis adalah catatan para sahabat mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad Rasulullah --sebagai figur terbaik yang mencontohkan bagaimana keislaman itu sebaiknya dipraktikkan. Tapi, hadis sendiri bukan sunnah. Hadis adalah data-data tertulis yang perlu diperlakukan secara kritis sebagaimana kita memperlakukan data-data tekstual dalam buku-buku sejarah, yang berguna untuk mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya. Bahkan, di kalangan ulama banyak yang berpendapat tentang tidak kafirnya seseorang yang mengingkari hadis (lihat Ezzedin Ibrahim, 2005, 40 Hadits Qudsi Pilihan, Diterjemahkan oleh M Quraish Shihab). Hadis dapat diterima sejauh itu sahih dan memiliki basisnya dalam Quran. Di sini Quran, yang mengklaim kitab ini sebagai “batu ujian” atau koreksi bagi ajaran-ajaran wahyu sebelumnya dari penyimpangan akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab, memang tak menyebut larangan mengenai penciptaan imaji makhluk hidup berupa potret atau karya lainnya. Kitab ini malah menuturkan bahwa Nabi Sulaiman, salah seorang pembawa risalah monoteistik, mencipta banyak patung dengan perantaraan pasukan jin di bawah kepemimpinannya (Quran Surah 34: 13). Pandangan bahwa Islam melarang seni rupa adalah tafsiran sebagian orang Islam. Dan pandangan ini, menurut penulis Pakistan Sehzad Saleem justru tidak konsisten dengan Islam sendiri. Saleem mengingatkan, hanya kitab suci Al-Quran yang melarang segala sesuatu dalam Islam. Menurutnya, kebanyakan hadis mengenai larangan membuat patung atau gambar memiliki redaksi sebagai berikut, “Barang siapa membuat gambar seperti ini …, ” yang berarti mengacu kepada bentuk tertentu secara spesifik, dan tak menyebut semua jenis imaji (lihat Agung Puspito, 2005. “Nuditas, Seni Rupa, dan Agama, ” dalam Buletin Citta YSRI Edisi IX). Sayangnya, di antara kebanyakan kitab hadis, seperti yang ada di Indonesia, kita tak punya catatan mengenai gambar atau imaji seperti apa yang dimaksud. Kebanyakan hadis tidak membedakan antara gambar yang dua dimensional dan patung yang tiga dimensi. Keduanya disebut shūroĥ (plural, shuwar). Bacalah hadis yang disahihkan oleh Bukhari di bawah ini, yang diriwayatkan oleh ‘Aiŝah istri Nabi, Dari ‘Aiŝah ra, “Saya membeli sebuah bantal yang bergambar-gambar. Nabi saw berdiri saja di pintu, tidak mau masuk ke dalam. Lalu kata saya, ‘Saya bertobat kepada Allah seandainya saya salah. ’
Nabi berkata, ‘Untuk apa bantal itu?’
Jawab saya, ‘Supaya Anda duduk dan bersandar di situ. ’
Sabda beliau, ‘Sesungguhnya orang yang membuat gambar semacam ini akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepadanya, hidupkanlah apa yang kau buat itu! Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di situ ada gambar (
shūroĥ). ’” Dalam hadis ini sebetulnya penerjemah (H Zainuddin Hamidy dkk, Terjemah Hadis Shahih Bukhari Jilid IV, Jakarta, 1982) mengartikan shūroĥ sebagai ‘gambar hewan’, tapi penulis Art-ysri menggunakan arti yang lebih umum, ‘gambar’ saja. Pasalnya, pencatat hadis tak mencandra secara detil gambar apa yang terdapat pada bantal ‘Aiŝah. Beberapa hadis memang tak menyertakan unsur penting berupa deskripsi menyangkut gambar yang dimaksud. Adapun shūroĥ dalam bahasa arab modern tampaknya memiliki makna yang luas, sehingga mencakup patung dan fotografi. Istilah ini sepadan dengan bahasa Inggris image, yang salah satu artinya adalah ‘imitasi dari bentuk eksternal suatu objek, misalnya, objek pemujaan’ (lihat edisi paperback The Pocket Oxford Dictionary, 1984). Maka, menurut Sehzad Saleem, dengan mengumpulkan hadis-hadis mengenai pencitraan makhluk hidup didapatkan gambaran bahwa larangan itu mengacu kepada pencitraan dalam kategori tertentu yang memperoleh status berhala (idols) dan dipuja sebagai berhala. Praktik pemujaan seperti ini merajalela pada awal berkembangnya Islam. Bahkan, interior kaabah pada zaman Nabi pernah diisi berbagai patung yang disembah penduduk di Semenanjung Arabia. Di antaranya, terdapat gambar para nabi dan orang suci seperti Ibrahim, Isa, dan ibunda Isa Maria. Saleem menyimpulkan, larangan pembuatan imaji yang dimaksud bukan lantaran kejahatan intrinsik yang ada padanya, melainkan karena sumbangsihnya terhadap praktik politeistik (muŝrik) masyarakat pada awal kehadiran Islam, dan karena hal itu bisa membangkitkan sentimen-sentimen dasar (termasuk nafsu syahwat) dalam diri seseorang. Senada dengan Saleem, penulis Sejarah Kesenian Islam C Israr (Jakarta, 1978) menyebutkan terjadinya kontroversi dalam soal seni rupa juga disebabkan oleh tiadanya batasan yang tegas tentang boleh tidaknya kesenian itu. Ia berpendapat bahwa boleh tidaknya melukis dan mematung perlu dilihat dari semangat larangan tersebut. Menurutnya, larangan melukiskan bentuk makhluk bernyawa, pada awal lahirnya agama Islam, memang perlu jika dipandang dari segi tauhid. Sebab, ketika Nabi masih hidup, di Mekah masih bertaburan puing-puing bekas reruntuhan arca sesembahan nenek moyang bangsa Arab. Jika semua berhala itu tidak dihancurkan, jika seni patung itu dibiarkan berkembang, akan tumbuh tunas baru dari kepercayaan lama yang akan menggoyahkan sendi-sendi tauhid mereka yang baru memeluk Islam. Tapi, lanjut Israr, “Ketika hakikat tauhid telah mendarah daging dalam tubuh umat Islam dan mereka tahu patung-patung itu tak sanggup berbuat apa pun, maka tidak ada alasan bahwa kepercayaan yang telah terkubur itu akan hidup kembali di tengah-tengah keyakinan umat Islam yang telah maju. ” Sebetulnya kontroversi seputar masalah itu telah dituntaskan di Indonesia, setidaknya sejak periode ketika Buya Hamka menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Seperti disebutkan cendekiawan (alm) Nurcholish Madjid, dalam ceramahnya mengenai Estetika di Yayasan Paramadina (1996), Hamka telah mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya pembuatan patung. “Kecuali, di Yogyakarta, ” tambah Nurcholish, menyebutkan bahwa suatu saat Hamka melihat orang melakukan praktik pemujaan berhala terhadap patung Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Rupanya, patung pahlawan nasional yang juga seorang mujahid itu masih dikultuskan orang dengan memberi sesajen dan rangkaian bunga di tubuhnya. Di sinilah kita menemukan divergensi antara seni dan berhala. Penulis akan terlebih dulu memusatkan perhatian pada persoalan berhala. Idols atau berhala adalah sosok ciptaan manusia yang dipuja sebagaimana manusia memuja Tuhan. Para penyembah berhala (dalam bahasa Inggris disebut pagan) membuat patung berhala yang mereka puja secara rutin, sambil memberinya persembahan berupa sesajian atau pun korban. Praktik inilah yang dilarang agama, yang di dalam Quran disebut al-anshob, Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (minum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji di antara amal-amal syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kamu memperoleh keberuntungan {QS 5: 90}. Berhala pada masa awal kehadiran Islam di Tanah Arab mengacu pada patung-patung (kebanyakan berujud wanita) dengan nama-nama seperti Latta, Manna, Uza, dan lain-lain. Orang Arab jahiliyah memuja mereka dan menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha mereka untuk berhala-berhala ini. Mereka dapat dikenali lewat penampilan fisik mereka yang ciri-cirinya (ikonografinya) tidak kita ketahui sejauh tak ada hadis atau data sejarah yang mendeskripsikannya. Yang jelas, imaji berupa patung maupun gambar berhala-berhala itu telah popular di kalangan Arab jahiliyah, sehingga penulis Sehzad Saleem menyebutkan larangan pembuatan imaji yang dimaksud seperti yang terdapat dalam beberapa hadis adalah yang terkait dengan wujud fisik berhala-berhala ini. Persoalannya, ayat-ayat Quran tak berlaku hanya untuk masa lalu. Quran diturunkan untuk menjawab semua persoalan dan mengabarkan hal-hal penting semasa Nabi hidup, pada zaman sekarang ketika Nabi telah wafat, dan untuk masa yang akan datang yang belum tentu kita masih hidup. Yang dimaksud dengan berhala (al-anshob) tentunya bukanlah imaji atau patung yang memiliki karakteristik fisik seperti dimiliki Latta, Uza, dan lain-lain, melainkan pada hakikatnya sesuatu (atau seseorang) yang dipuja manusia sebagaimana ia memuja Tuhan. Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang berpotensi membuat Anda memuja atau menyembahnya sebagaimana orang beriman menyembah Tuhan (misalnya dengan melakukan ritual-ritual tertentu). Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mengorbankan sebagian atau seluruh hidup Anda demi dia, sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mati demi dia; termasuk, berperang demi dia. Adapun praktik pemujaan atau pengorbanan yang dimaksud menjadi bermakna ŝirk (menduakan Tuhan) apabila dilakukan oleh seseorang yang telah beriman kepada Tuhan; suatu dosa yang tak terampuni kecuali kita bertobat sebelum maut menjemput. Padahal, Allah adalah Pribadi yang posesif dan kepemilikan-Nya itu mutlak. Di tangan-Nya tergenggam hidup dan mati setiap creatures (padanan Inggris untuk makhluk, ciptaan) di alam semesta. Karenanya, jika orang melakukan sesuatu tidak demi Dia, ia telah berbuat sia-sia. Dan, jika perbuatan demi berhala itu dilakukan oleh orang yang beriman, Allah jelas akan murka kepadanya. Adapun pandangan Islam terhadap seni sama seperti pandangannya terhadap aktivitas kebudayaan manusia lainnya. Setiap muslim menerima ajaran bahwa manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah (QS 51: 56). Namun, ilmu fiqh (kodifikasi hukum Islam hasil ijtihad manusia) mengenal upaya penafsiran terhadap hal-hal yang tidak dirinci dalam Al-Quran. Para fuqoha (ahli fikih), misalnya, telah berijtihad untuk membedakan antara ibadah ‘ubudiyah dan ibadah muamalah. Yang pertama, ibadah ubudiyah, mengacu pada ibadah yang telah pasti dalilnya dalam Quran, sehingga tidak memerlukan penyesuaian atau perubahan sesuai kondisi zaman. Ibadah ubudiyah contohnya berupa kewajiban ritual seperti salat, zakat, puasa, berkurban pada hari ‘Idul Adha, dan pergi haji; dalam bentuk larangan, ubudiyah mencakup larangan mengabdi berhala, membunuh orang tanpa alasan yang haq (benar), berjudi, mengundi nasib dengan panah, makan babi dan lain-lain. Bobot aktivitas ibadah ini adalah wajib, yang berarti semua hal di luar aturan ibadah adalah haram atau terlarang, kecuali bila ada dalil atau nash (aturan tekstual) yang menghalalkannya. Salat, puasa bukanlah aktivitas kebudayaan yang berasal dari kebebasan berkreasi manusia. Karenanya, ibadah-ibadah itu tak memerlukan pembaruan atau modifikasi. Setiap usaha modifikasi dinilai sebagai bid-ah, dan hal itu terlarang. Adapun ibadah muamalah merujuk pada nash yang termaktub secara garis besar dalam Al-Quran yang tidak dirinci lebih jauh, sehingga membuka peluang penafsiran yang luas bagi para fuqoha. Di sini berlakulah prinsip umum bahwa segala bentuk muamalah dibolehkan (halal), sepanjang tidak dijumpai dalil yang mengharamkannya. Umumnya, muamalah mencakup hubungan antara sesama manusia sehingga cenderung bersifat sosial-kemasyarakatan. Di sinilah ibadah kepada Allah berkonvergensi dengan kebudayaan manusia yang berbeda-beda sesuai wilayah kultural. Perdagangan, misalnya, merupakan muamalah yang halal dan bernilai ibadah sesuai motivasi pelakunya. Artinya, pelaku perdagangan dengan motif lillahi ta’ala (demi Allah semata-mata) dijanjikan menerima reward berupa pahala. Allah hanya melarang praktik riba yang merupakan suatu dalil yang mengharamkan praktik jual-beli tersebut. Jadi, bagaimana dengan praktik seni? Seni, tak terkecuali, merupakan bagian dari aktivitas muamalah, dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya (seni itu boleh sepanjang tak ada dalil yang melarang). Ia bukan ibadah ubudiyah yang dirumuskan dalam dalil, semua haram kecuali bila ada nash yang membolehkannya. Seni bukanlah semacam ritual seperti salat dengan aturan-aturan yang telah pasti. Hal ini diakui pula oleh Zaenuddin Ramli, akademisi seni rupa asal Bandung, saat menyampaikan makalahnya dalam sebuah acara seminar yang digelar Galeri Nasional Indonesia, 11—12 Juli lalu. Baginya, seni dalam Islam itu “muamalah, dan (dengan demikian) berubah, transformatif. ” Zaenuddin mengangkat makalahnya mengenai Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995) yang mencoba mengingatkan orang tentang adanya gagasan baru mengenai “seni Islam” yang bukan cuma berupa arabesk (dekorasi dan kaligrafi arab) atau lukisan abstrak, tapi pun karya-karya bermuatan sosial-politik.

Beberapa tahun terakhir ini muncul pula arus pemikiran seni di Indonesia yang berupaya untuk mendobrak dominasi pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Alih-alih mengakui kemajemukan yang menjiwai semangat zaman abad ini, Barat dinilai hanya mengakui satu penafsiran tentang seni (yaitu seni menurut kaca mata Barat). Salah seorang tokoh yang menonjol dalam pemikiran ini adalah kritikus seni Jim Supangkat, yang juga menyebut dirinya “kurator independen”. Jim berpendapat, penyusunan sejarah seni rupa di Asia, yaitu gejala yang muncul pada awal dekade 1990, merupakan kelanjutan arus besar pemikiran yang bertumpu pada pluralisme dan kesadaran tentang kebedaan. Arus besar ini, yang menjadi dasar berkembangnya seni rupa kontemporer, menentang ketunggalan sejarah seni rupa modern --sebuah sejarah yang didominasi susunan sejarah Eropa dan Amerika. Menurut Jim, penyusunan sejarah seni rupa lebih mengandalkan pencatatan peristiwa-peristiwa terutama yang terjadi pada abad ke-20. Kecenderungan ini membuat persoalan seni rupa, pada sejarah seni rupa yang disusun, menjadi berjarak dari nilai-nilai budaya. “Pendekatan sejarah ini tidak (belum) mengikutkan pendekatan lain. Setelah pendekatan sejarah berlangsung selama 10 tahun lebih, belum ada tanda-tanda upaya untuk mengangkat pertanyaan ‘apakah seni rupa’ melalui sejarah seni rupa yang disusun berdasarkan tanda-tanda lokal, ” demikian Jim memaparkan dalam “Pertanyaan Apakah Seni Rupa, ” Visual Arts, # 11, Februari/Maret 2006. Betapa pun, kita tak dapat menghilangkan unsur agama, sesuatu yang dipercaya sebagai hal yang universal, ketika mempelajari aspek-aspek kebudayaan lokal. Ini sebagaimana disitir Quran mengenai universalitas manusia, antara lain melalui seruan-seruannya, “Wahai anak-anak Adam” (manusia). Bahkan antropologi, seperti yang diperkenalkan antropolog (juga politisi) S Budhisantoso, mengenal “tujuh unsur budaya universal”, yaitu bahasa, organisasi sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan religi. Contoh mengenai tak terpisahkannya aspek-aspek lokal sebagai bagian dari keseluruhan yang bersifat universal dapat dilihat lewat profil Hanafi (lahir 1960). Ia adalah seorang perupa Indonesia yang, seperti diungkapkan kurator Jim Supangkat, mempertegas perbedaan antara lukisan abstrak Barat (Eropa dan Amerika) dan abstrakisme khas Indonesia. Hanafi punya kecenderungan untuk menampilkan gambaran pada lukisan-lukisannya, sesuatu yang coba dihilangkan dalam lukisan-lukisan abstrak Barat. Ciri abstrakisme Hanafi, yang tak berbeda dengan abstrak Barat, adalah spontanitasnya dalam berkarya. Tapi, perupa kelahiran Purworejo ini merupakan salah satu dari sedikit perupa Indonesia yang melukis menggunakan perangkat ketaksadarannya. “Kalau dihitung-hitung, saat melukis lebih banyak menggunakan ketaksadaran daripada kesadaran, ” tutur Hanafi menjelaskan proses kreasinya. “Tentu saja saya dengan sadar mengambil cat. Tapi, kebanyakan karya saya boleh dibilang berasal dari alam bawah sadar. Sebab, melukis bagi saya tak ada tujuan. ” Apa sebetulnya yang ia maksud dengan “ketaksadaran”? Tampaknya kita memang memerlukan pendekatan psikologis untuk membaca Hanafi. Jim Supangkat menunjukkan bahwa Hanafi lebih mengandalkan energi yang muncul tiba-tiba saat ia menghadapi kanvas. Menurutnya, cara kerja Hanafi muncul dari ketaksadaran yang lebih mencerminkan sifat kerja id dalam konsep Sigmund Freud mengenai karakteristik metode berpikir proses primer dan sekunder. Jim melihat id sebagai bagian dari psike yang memiliki kemampuan untuk melahirkan tingkah laku kreatif. “Id yang produktif ini merupakan hasil proses kreatif, proses yang memunculkan orde tersembunyi dari bawah sadar manusia, ” papar Jim selaku kurator Pameran Tunggal Hanafi bertajuk Id yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (2006). “Saya lebih percaya kepada apa yang terjadi dengan sendirinya ketimbang apa yang dijadikan oleh seorang arsitek atau seniman. Kesenian tak mengenal hukum-hukum konstruksi, ” kata Hanafi sambil menunjuk ke lukisan air brush-nya berjudul Neon Yang Tak Bisa Tidur (2006). “Dalam lukisan saya bisa menempatkan neon tanpa alat bantu konstruksi, ini karena saya lebih didominasi alam bawah sadar. ” Bagaimana menjelaskan hal ini lewat pendekatan Freudian? Id menurut Freud merupakan salah satu dari tiga sistem dalam hidup psikis, bersama-sama ego, dan superego. Dr K Bertens dalam Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud mengulas id sebagai lapisan psikis paling mendasar, tempat bersemayamnya naluri-naluri seksual, agresivitas, dan keinginan-keinginan yang direpresi. Disebutkan bahwa id tak terpengaruh oleh kontrol pihak ego dan prinsip realitas. Id tak mengenal waktu maupun hukum-hukum logika. Tapi, kreasi seni di tangan Hanafi tampaknya bukanlah sekadar pengalihan naluri-naluri profan dalam bentuk --menurut istilah Freud-- sublimasi. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia ini punya keinginan kuat akan kejelasan makna, tepatnya, makna yang positif, yang ditunjukkan antara lain lewat kecenderungannya menampilkan angka-angka dan tanda baca tertentu dalam lukisannya. “Saya sedang berusaha mencari ketepatan dalam sebuah komposisi yang sangat matematik karena angka bukan sesuatu yang asing. Angka ada di mana-mana, di meteran tarif taksi, di ponsel, ” kata Hanafi yang pernah mengadakan pameran tunggal di Barcelona, Spanyol (2003). “Sedangkan tanda (+) berarti positive thinking. Ia merupakan harapan, suatu energi positif yang dibangun dari prasangka baik kepada setiap apa yang tejadi pada kita. Membuat kita tak gamang, tak mencurigai segala sesuatu, ” lanjutnya menerangkan tanda-tanda (+) yang banyak dijumpai pada karya lukisnya. Seperti diuraikan Jim, Hanafi berusaha menyelesaikan masalah secara struktural. Ia mengatasi persoalan secara keseluruhan bukan secara parsial. “Ada usaha untuk memunculkan sebuah tatanan baru, walaupun ia tidak merasa mengarahkan karyanya untuk membentuk sebuah tatanan yang pre-ordained (bertujuan), ” Jim menambahkan. Sebuah tatanan (orde) niscaya menunjukkan prinsip keseimbangan, yang secara sadar atau tak sadar sesungguhnya diidamkan oleh manusia. Menurut kosmologi yang islami, yang menyertakan campur tangan Tuhan, alam semesta dicipta menurut prinsip keseimbangan, meski untuk menjaga hal itu ia perlu melalui proses penghancuran (kematian) dan pemulihan. Bintang dan planet-planet beredar menurut orbitnya dan tak pernah saling menabrak, tapi sebagian benda alam itu harus menemui ajalnya, hancur menjadi debu kosmik. Alam dicipta menurut hukum keseimbangan tertentu sehingga manusia mungkin untuk mempelajarinya. Manusia mengandung unsur-unsur bumi yang menjadikannya bagian dari alam dan tak kebal terhadap hukum-hukum alam. Psikolog analitis asal Swiss yang pernah belajar kepada (tapi kemudian berseberangan dengan) Freud, Karl Gustav Jung (1875--1961), mengajukan ketunggalan seluruh umat manusia, bahwa mereka adalah genus yang satu dan mewarisi apa yang ia sebut sebagai “alam tak sadar kolektif”. Seperti diungkapkan dalam Memperkenalkan Psikologi Analitis, pendekatan terhadap Ketaksadaran (Jakarta, Gramedia, 1986), Jung menunjukkan adanya suatu alam tak-sadar yang lebih dalam dari ketaksadaran pribadi, yang bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan terdapat pada segala kebudayaan di dunia ini. Jung mengajukan arketipe sebagai inti atom psikis dari alam tak sadar. Arketipe merupakan pola-pola apriori yang memberi ketentuan terhadap isi material yang bersifat instinktif atau genetik. Arketipe bersifat universal dan selalu terdapat pada manusia secara potensial. Tapi, para perupa tidak akan menjelaskan hal ini lewat kata-kata. Untuk menunjukkan universalitas manusia, mereka cenderung melukis figur berkepala gundul yang tak berasosiasi dengan kebudayaan mana pun. Perupa kontemporer asal Cina yang pernah berpameran di Indonesia, Xue Jiye, melukiskan orang-orang berkepala plontos terlibat dalam perkelahian massal. Menjuduli karya itu Bodyfight, Xue seakan mengamini konsep arketipe Jung, yaitu tentang keberadaan potensi-potensi bawah sadar yang dapat disamakan dengan naluri-naluri purba yang dimiliki manusia secara kolektif. Salah satunya, naluri untuk berkelahi atau berperang. “Yang namanya perang itu kan bisa terjadi kapan pun dan di mana pun, ” ujar Xue suatu ketika. Hanafi, tak terkecuali, punya kecenderungan untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keseluruhan, sedangkan keseluruhan itu tunggal (universal). Meskipun berkarya “tanpa tujuan”, ia berusaha mencipta tatanan baru, bergerak ke arah keseimbangan yang khas alam semesta dan telah mewarnai ketaksadarannya. Hanafi tak membiarkan id-nya bergerak liar tanpa menyertakan kerja ego-nya. Justru di bawah ego --atau psike yang sadar menurut definisi Jung-- seorang individu menemukan ketaksadaran yang sebenarnya, yang telah melalui pertemuan atau dialog dengan realitas spiritual. Ketaksadaran ini lebih lengkap ketimbang sekadar naluri-naluri seksual yang mendasari id Freudian. Dalam kasus Hanafi, ketaksadaran ini mencakup kebutuhan akan makna, akurasi angka dan data, penghormatan kepada orang tua (terutama ibu), optimisme, kerinduan akan harmoni dan perbaikan (sebagai lawan dari kerusakan), dan sikap pasrah terhadap ketentuan ilahiah. Mungkin Jung benar ketika menyebutkan tubuh manusia merupakan museum ogan-organ tubuh dengan sejarah evolusi yang panjang, dengan psike (jiwa) masih erat dengan psike binatang. Namun, manusia tak melulu terdiri dari sekumpulan bahan asal planet biru ini. Kitab suci --salah satu rujukan penting yang patut dijadikan hipotesis seperti klaim-klaim ilmiah lainnya-- menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah liat, lalu meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia (Quran Surah 15: 28-29). Demikianlah, psikologi yang islami akan membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia dalam segi ruhani. Hanya manusia yang memiliki unsur ruh yang bersifat kekal. Jasad manusia boleh hancur bersama tanah, tapi ruhnya akan tetap abadi dan berkelanjutan di kehidupan akhirat. Di sini, hanya individu yang telah mengalami pencerahan belaka yang mampu mengarahkan naluri-naluri purba sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang menunjukkan keberadaan Sang Pencipta. Sebagai seorang muslim, Hanafi akan menyebut pencerahan sebagai hidayah, suatu petunjuk untuk mengaktifkan unsur spiritual yang telah menyertai kehadirannya di dunia agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Unsur spirituallah yang berkembang bersama intelijensia seseorang, suatu bentuk kesadaran yang bahkan dipergunakan dalam proses kreasi seorang perupa ketika mencipta karya abstrak sekalipun. Diakui atau tidak, intelijensialah yang menundukkan naluri-naluri purba Hanafi sehingga ia mampu menghadirkan kejelasan makna dalam karya-karyanya. Sementara itu, perkembangan seni rupa kontemporer semakin memperlihatkan adanya keberagaman tema maupun media. Keberagaman karya itu dinilai menggembirakan, sehinga kurator Galeri Lontar Asikin Hasan pun memujinya. “Cakupan seni rupa makin melebar, bukan cuma lukisan, tapi ada instalasi, video, dan lain-lain, ” ujar kurator yang banyak mengkurasi seni rupa kontemporer ini. Asikin bicara soal New Media Art (Seni Media Baru), sebuah diskursus sosial di Barat yang kemudian populer menjadi gerakan seni dengan karakternya yaitu menggabungkan elemen-elemen teknologi dan unsur-unsur seni. Di sini teknologi media, termasuk teknologi informasi, merupakan lahan subur tempat berseminya benih-benih gerakan ini. Munculnya televisi, video, komputer, internet, games, dan telepon seluler beserta fasilitas teks dan image-nya membawa perubahan sosiokultural masyarakat. Betapa tidak. Teve semula dianggap sebagai alat propaganda di mana para penguasa berbicara satu arah. Ketika muncul teve-teve swasta, giliran pengusaha mencekoki konsumen dengan produk-produknya (yang juga menentukan eksistensi siaran edukatif-intelektualnya). Lalu, penyanyi dangdut berjoget erotis ditonton para pemuda tanggung. Teknologi informasi juga membawa perubahan yang tidak kecil. Internet, misalnya, memudahkan orang mengakses berbagai informasi pengetahuan ketimbang mencarinya di perpustakaan pusat kota dengan waktu berkunjung yang terbatas (ditambah dengan kemacetan di jalan). Tapi, sisi negatifnya, media yang sama menyediakan jutaan images yang seakan tak menyisakan ruang lagi bagi fantasi seseorang (termasuk fantasi seksual), yang bisa membuatnya ketagihan mengarungi jagat maya (surfing). Demikianlah, seni media baru mengemuka dengan ciri-cirinya seperti terbuka, interaktif, permisif, dan terkadang tampak main-main sebagai suatu diversi atau hobi. Perupa Krisna Murti menyebutkan, karena teknologi mutakhir dimanfaatkan oleh siapa pun, pekerja media baru ini datang dari wilayah yang beragam: seni rupa, sinematografi, ilmu komunikasi, antropologi, arsitektur, seni pertunjukan, teknologi, multimedia, hingga otodidak. Kelihatannya, mereka merasa berhak menciptakan karya seni sesuai pengenalan mereka terhadap medium yang mereka akrabi sehari-hari. Sebagaimana layaknya studi wilayah yang merupakan kajian antardisiplin ilmu (sejarah, sosial, budaya, bahasa, sastra, dan lain-lain yang terdapat di wilayah atau negara tertentu), cakupan seni rupa kini mencakup bidang-bidang beragam seperti multimedia (termasuk video dan internet), crafts (kriya), fotografi, arsitektur, billboards iklan di jalan-jalan, grafiti di dinding-dinding ruang kota, daur ulang barang-barang bekas, display dan interior di pusat-pusat perbelanjaan, serta --seperti ditambahkan dosen seni rupa ITB Mamannoor-- seni rupa fiber dan hologram. Toh, bidang-bidang (atau disiplin ilmu) yang partikular itu tak dapat dipisahkan dari yang universal. Di sini, para praktisi seni media baru Indonesia terbukti mampu menunjukkan prestasi yang prestisius, setidaknya di tingkat regional dalam Asean New Media Art Competition (Februari 2007). Seperti diumumkan ketua Dewan Juri Prof Edward Cabagnot dari Filipina, dari enam Pemenang Pertama Kompetisi Seni Media Baru Asean, tiga orang berasal dari Indonesia. Mereka adalah Maulana Muhammad Pasha, dengan karyanya berjudul, Endless Road; Ari Satria Darma, dengan karya film pendeknya berjudul Iqra’ (2005); dan Muhammad Akbar, dengan karyanya Young Tourist from the Near Countries (2006), juga dalam kategori Moving Image. Karya Maulana yang alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) dalam kategori Moving Image ini menampilkan film berdurasi enam menit 10 detik tentang penelusuran gang-gang sempit di ibu kota untuk mencari sebuah taman kanak-kanak. Film pendek ini terbukti pantas menyandang gelar juara dalam kompetisi seni media baru tingkat Asean yang diikuti para seniman, praktisi media, pelajar dan mahasiswa, peneliti muda teknologi, dan komunitas seni dari seluruh kawasan Asia Tenggara. Sedangkan Ari Satria Darma melontarkan ide menggelitik dalam karyanya Iqra’, bagaimana seandainya huruf-huruf menghilang dari peradaban manusia? Dengan cermat alumnus Institut Kesenian Jakarta ini melenyapkan secara berangsur huruf-huruf yang semula tedapat di tempat-tempat umum, marka-marka jalan, dan toko-toko. Adapun Muhammad Akbar, alumnus IISIP, menampilkan ekspresi para remaja --tampaknya remaja Indonesia-- yang secara bergantian diberi label “negara asal” mereka masing-masing, yaitu negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Akbar tampak ingin menyampaikan pentingnya komunikasi dan mekanisme saling mengenal. Lihat saja, profil wajah penduduk di negara-negara di kawasan Asia Tenggara nyaris tak ada bedanya satu sama lain. Hanya dengan saling menyapa --berbicara satu sama lain-- kita dapat mengetahui identitas masing-masing. Dan bukankah manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Quran S 49: 13)? Maka, jika ketunggalan sejarah seni yang didominasi Barat itu sulit diterima, kesamaan makna hakiki seni seperti yang dipersepsi seluruh manusia dari berbagai wilayah budaya akan lebih masuk akal. Pada hakikatnya, seni mengaktualisasikan potensi seni yang secara universal dimiliki seluruh manusia. Potensi yang dimaksud cenderung akan keindahan, yaitu hal-hal yang bila dipersepsi secara indrawi dapat memberikan kenikmatan psikis maupun spiritual. Di sini, penulis menilai bahwa keindahan adalah salah satu aspek penting dari akhlak (moral). Wilayah akhlak tak hanya berbicara soal baik dan buruk. Akhlak bahkan dicanderakan mengandung semua nilai yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (lihat Rachmat Taufiq Hidayat 1990, Khazanah Istilah Al-Quran, Bandung, 1990). Akhlak mencakup unsur-unsur seperti keberanian, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan, kesabaran, ketegasan, kehalusan (subtlety), kelembutan, semangat dan gairah, empati, kasih sayang, kecenderungan akan perubahan yang lebih baik, Kecenderungan akan keindahan, kecenderungan akan keseimbangan, kecenderungan akan kejelasan makna, kecenderungan akan perdamaian; pendeknya, hal-hal yang amat berharga dalam suatu pencapaian karya seni. Akhlak memperkuat landasan seni, bagaikan fondasi mengokohkan bangunan. Akhlak adalah acuan bagi seluruh aktivitas manusia, termasuk aktivitas seni. Candi Borobudur tak akan berdiri dengan megah dan menjadi salah satu ikon kebudayaan dunia jika para senimannya tak punya moral yang kuat buat menyelesaikan proyek religius tersebut. Lalu, Taj Mahal di India menjadi tanda akan salah satu ungkapan kasih teragung pada masanya (1631 M), ketika penguasa muslim Sultan Syeh Yehan membangun karya yang megah itu dilambari suatu energi cinta yang tak pernah pudar terhadap permaisurinya yang amat ia kasihi, yang telah meninggal dunia lebih dahulu, Mumtaz Mahal.

Salah satu unsur akhlak yang penting dalam seni adalah, bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman, demikian hadis Nabi yang popular. Kebersihan bahkan merupakan syarat minimal dari keindahan, karenanya, bersih itu indah. Kritikus Agus Dermawan T, misalnya, tak setuju adanya penggunaan barang najis untuk karya seni, apalagi untuk membuat patung orang suci (yang bahkan dapat digolongkan sebagai tindakan penistaan agama). Dalam bukunya, Bukit Bukit Perhatian (Jakarta 2004), alumnus ASRI (kini ISI) Yogyakarta ini berpendapat bahwa kegundahan publik atas perkembangan moral seni juga terjadi di Inggris sekalipun, yang jauh lebih liberal ketimbang Indonesia. Di sini, masyarakat mengecam pemilihan hasil kompetisi Turner Prize yang diadakan Tate Gallery’s Patrons of New Art. Pasalnya, pada 1999 kompetisi yang kontroversial ini memenangkan karya Chris Ofili, The Holy Virgin Mary, yaitu patung Bunda Maria yang dibuat dan diseraki kotoran gajah, dengan disertai cuplikan foto-foto yang diambil dari majalah porno. Akhirnya, sebagaimana kita saksikan dalam perkembangan mutakhir yang melanda jagat seni, seni rupa tidak dapat berdiri sendiri. Seni juga bersifat fungsional, dan menjadi komoditi perdagangan. Mengapa tidak? Yang penting halal, melibatkan interaksi (dan transaksi) yang suka sama suka serta tak mengandung unsur penipuan. Seni menjadi bagian dari aktivitas muamalat. Di sini, selain publik penikmat seni, ada pula pengayom, penguasa, dan pemodal yang ikut berperan dalam menentukan eksistensi seni rupa. Produksi karya kriya sebagai komoditas ekonomi bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, hal yang sama berlaku bagi karya-karya “murni” seni rupa lainnya. Almarhum Prof Dr Sudjoko yang guru besar ITB (meninggal tahun 2006) menyebutkan, citra bahwa seniman harus membuat lukisan untuk ekspresi pribadi melulu tanpa ambil pusing kemauan orang lain, sebetulnya adalah citra baru. Sudjoko menyebutkan hal ini saat mengantar katalog pameran koleksi Dewan Kesenian Jakartan (DKJ), Seni: Pesanan (Jakarta, Komite DKJ, 2006). Seperti diketahui, DKJ pernah menggelar pameran “pesanan” tersebut pada 1974 yang disponsori perusahaan negara Pertamina. Menurutnya, sesungguhnya sangat banyak seniman besar yang bekerja untuk macam-macam “Pertamina”, baik itu yang namanya Rembrandt, Raden Saleh, atau Picasso. Bahkan, “sang Pertamina” ini bisa juga rakyat jelata, asal berduit banyak. Pada 1641 seorang pelancong Inggris, John Evelyn, melaporkan bahwa pelukis-pelukis Belanda disokong oleh petani, penjagal, tukang sepatu, pandai besi, dan pembakar roti. Para petani lebih berani beli satu lukisan dengan harga 2000 sampai 3000 florin (100 florin setara dengan 100 ribu rupiah). K ata Evelyn, lukisan-lukisan ini bergantungan di bengkel besi dan di kandang sapi. Para pelukis besar seperti Renoir, Monet, Gauguin juga punya pemodal tersendiri, yang sering menanggung hidup mereka, sungguh pun karya-karya mereka tidak laku. Mereka adalah pedagang-pedagang seni. Sudjoko akhirnya mengajak kita untuk menarik pelajaran, bahwa, mutu seni tidak ditentukan oleh siapa yang memulai kerja seni. Begitu pun kreativitas, bisa mulai dari seniman sendiri, bisa pemesan --yang mengatur bentuk dan isi seni, “Bisa masyarakat, bisa adat, bisa ideologi, bisa politik, bisa agama”. Bicara soal pemilahan antara seni dan kerajinan (craft), Sudjoko mengingatkan bahwa jagat seni rupa punya pabrik lukisan raksasa yang dimiliki oleh Peter Paul Rubens (1577--1640), seorang seniman besar. Pegawainya banyak sekali, di antaranya terdapat pelukis-pelukis seperti Anthonie van Dyck dan Jacob Jordaens. “Kerjaan Rubens adalah cari order, lantas ia membuat sketsa-sketsa kecil, lalu sketsa-sketsa ini diberikan kepada para pegawainya, yang kemudian membesarkan sketsa Rubens pada kanvas-kanvas besar dan memulasnya dengan warna-warna. Sementara itu Rubens duduk di kursi dan memberi macam-macam komando (instruksi), lantas ia pergi berdiplomasi (dia itu duta besar!) dan cari pesanan, dan sekembalinya di pabriknya ia masih sempat ambil kuas, membubuhi finishing touches kepada barang 10 lukisan, dan tentunya plus tanda tangannya. ” Sudjoko juga menyebut contoh dari dunia Timur. Di Jepang, sejak 728 terdapat pabrik-pabrik lukisan yang semula bernama Edakumi-ryo (di Nara) dan kelak terkenal dengan nama Edokoro. Bisa diinterpretasikan sebagai ‘biro pelukis’, setiap lukisan di sana dikerjakan sejumlah orang: ahli desain, ahli pewarnaan, ahli tinta, “dan macam-macam kacung ikut campur. ” “Tahukah Anda, ” ujar Sudjoko, “Leonardo da Vinci pernah jadi kacungnya Andrea Verrochio? Kerjaan dia misalnya mencampur-campur cat, mencuci kuas, dan beli makanan. ” Akhirnya, Sudjoko menyimpulkan, “buat apa malu mengaku sebagai industri dan sebagai bisnis? Seni selamanya begitu, dari zaman Mesir sampai sekarang. ” Sampai di sini setidaknya kita bisa menyimpulkan, yang disebut seni bukan hanya ekspresi invidual tentang keindahan, melainkan juga dapat menjadi bagian dari karya kolaboratif yang bersifat fungsional. Seni melengkapi hasil budaya lainnya, seperti bangunan, kerajinan, perabotan, dan buku ilmiah (misalnya berupa ilustrasi). Lalu, Islam bukanlah aliran atau genre kesenian tertentu. Yang disebut kesenian Islam adalah istilah yang tak punya batasan ketat tentangnya. Seni dapat digolongkan ke dalam ibadah muamalat dengan “aturan main” bahwa semua boleh kecuali bila ada nash yang melarangnya. Bahkan, semua karya seni, sepanjang tak melanggar akhlak yang islami, adalah seni Islam. Sebuah definisi yang longgar, yang justru memberi peluang yang luas bagi para seniman untuk berkarya.

Kerkembangan kesenian

Perkembangan suatu kesenian selalu bermula dari tingkatan kesenian yang paling sederhana yang tidak mungkin langsung mencapai puncak perkembangan. Kesenian berkembang mengikuti perubahan zaman dan berdasarkan kurun waktu. Di bidang seni rupa, ditinjau dari perkembangan dan kurun waktunya sejak zaman prasejarah hingga sekarang, maka karya seni yang dihasilkan dapat dikelompokkan dalam jenis seni primitif, seni klasik, seni tradisional, seni modern, dan seni kontemporer.

Seni Primitif

Seni primitif berkembang pada zaman prasejarah, yang mana tingkat kehidupan manusia pada masanya sangat sederhana sekali dan sekaligus merupakan ciri utama, sehingga manusianya disebut orang primitif. Hal ini berpengaruh dalam kebudayaan yang mereka hasilkan. Mereka menghuni goa-goa, hidup berpindah-pindah (nomaden) dan pekerjan berburu binatang. Di bidang kesenian, karya seni yang dihasilkan juga sangat sederhana, namun memiliki nilai tinggi sebagai ungkapan ekspresi mereka. Peninggalan karya seni yang dihasilkan berupa lukisan binatang buruan, lukisan cap-cap tangan yang terdapat pada dinding goa, seperti pada dinding goa Leang-leang di Sulawesi Selatan, goa-goa di Irian Jaya, dan pada dinding goa Almira Spanyol. Selain karya lukisan, terdapat juga hiasan-hiasan pada alat-alat perburuan mereka yang berupa goresan-goresan sederhana. Karya seni yang dihasilkan hanya merupakan ekspresi perasaan mereka terhadap dunia misterius atau alam gaib yang merupakan simbolis dari perasaan-perasaan tertentu, seperti perasaan takut, senang dan perdamaian. Ciri-ciri lain dari seni premitif yaitu goresannya spontannitas, tanpa perspektif, dan warna-warnanya terbatas pada warna merah, coklat, hitam, dan putih.

Seni Klasik

Kesenian klasik merupakan puncak perkembangan kesenian tertentu, yang mana tidak dapat berkembang lagi (mandeg). Karya seni yang dianggap klasik memiliki kriteria sebagai berikut : (1) Kesenian yang telah mencapai puncak (tidak dapat berkembang lagi), (2) merupakan standarisasi dari zaman sebelum dan sesudahnya, dan (3) telah berusia lebih dari setengah abad. Selain dari ketentuan itu, suatu kesenian belum bisa dikategorikan seni klasik. Karya-karya seni klasik dapat dijumpai pada bangunan-bangunan kuno Nusantara pada zaman Hindu-Budha dan bangunan-bangunan kuno di Yunani dan Romawi. relietprambanan.jpg

Seni Tradisional

Tradisi artinya turun temurun atau kebiasaan. Seni tradisional berarti suatu kesnian yang dihasilkan secara turun-temurun atau kebiasaan berdasarkan norma-norma, patron-patron atau pakem tertentu yang sudah biasa berlaku. Seni tradisi bersifat statis, tidak ada unsur kreatif sebagai ciptaan baru. Sebagai contoh dapat kita lihat pada lukisan gaya Kamasan Klungkung, kriya wayang kulit, kriya batik, kriya tenun, dan sebagainya. lukisan-tradisi-kamasan.jpg

Seni Modern

Seni modern merupakan kesenian yang menghasilkan karya-karya baru. Seniman yang kreatif akan menghasilkan karya seni yang modern, karena di dalamnya ada unsur pembaharuan, baik dari segi penggunaan media, teknik berkarya maupun unsur gagasan/ide. Seni modern tidak terikat oleh ruang dan waktu, baik itu karya yang dihasilkan di masa lampau maupun pada masa kini aslkan ada unsur kreativitasnya. Karya-karya seni rupa modern dapat dilihat pada lukisan karya Van Gogh, Pablo Picasso, Affandi, Basuki Abdullah, Gunarsa, patung karya G. Sidharta, Edi Sunarso, Nuarta, dan sebagainya. lukisan-modern-karya-basuki.jpg

Seni Kontemporer

Kontemporer berarti sekarang atau masa kini. Seni kontemporer memiliki masa popularitas tertentu sehingga seni ini dapat dikatakan bersifat temporer. Seni ini dapat dinikmati pada masa populernya dan apabila sudah lewat maka masyarakat tidak lagi menyukainya. Karya-karya seni kontemporer pada mulanya muncul di Eropa dan Amerika, seperti lukisan karya Andy Warhol dan patung karya Hendri Moore. Belakangan ini, seni kontemporer telah berkembang di berbagai negara yang memiliki gagasan yang unik, seperti berupa patung dari es, lukisan pada tubuh manusia (body painting), seni instalasi, grafity, dan sebagainya. seni-kontemporer-body-paint.jpg

Selasa, 29 Juli 2008

MENINGKATKAN PRESTASI MENGGAMBAR PERSPEKTIF MELALUI PEMAHAMAN LOGIKA, SPIRITUAL DAN RELIGIUS

Kata perspektif berasal dari bahasa latin perspicere yang berarti
melihat tembus. Menggambar perspektif adalah menggambar suatu benda
sesuai dengan pandangan atau penglihatan sebenarnya. Benda – benda
yang dekat dengan pemandangan mata bila menjauh semakin kecil dan
hilang dari pandangan mata.
Cara menggambar perspektif sendiri mengingatkan pada manusia
yang melakukannya pada hakikat tujuan hidup pi dunia ini, sebagai
manusia yang pada akhirnya akan mendekati sebuah titik hilang yang
dapat juga kita sebut titik misterius.
Dari segi kemampuan kekuatan membuat seseorang yang
memahami gambar perspektif semakin sadar akan keterbatasan dirinya
dan betapa besar kekuasaan Allah SWT bahwa manusia itu mempunyai
kekuatan yang terbatas sesuai firman Allah:
Lahaua wala Quata Illa
Bilahil ’Alaiyil ’adzim”,
yang artinya: ”Sesungguhnya segala daya upaya
kekuatan itu asalnya dari Allah SWT”.

Seni Untuk Merangsang Otak Kanan Kita

Mengarungi ranah bisnis di era hyper-competition seperti sekarang ini kecanggihan berpikir secara logika dan rasional ada kalanya kurang efektif ketika mengatasi hambatan di dunia kewirausahaan. Untuk itu diperlukan juga kecerdasan otak kanan (intuisi & feeling) guna mengatasi kendala yang menghadang.

Keseimbangan otak kiri dan otak kanan bagi seorang pelaku bisnis adalah mutlak diperlukan lantaran, seperti yang ditegaskan Dr. Damasio, pakar neurolog dunia - bahwa otak kanan (otak yang merasakan atau otak emosional) sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan rasional. Kemampuan otak yang merasakan ini relatif akan menuntun pada arah yang tepat.

Sudah saatnya kita musti mengoptimalkan kehebatan otak kanan meski sebelumnya guru di sekolah atau dosen di kampus lebih banyak merangsang dan mengajarkan kemampuan otak kiri. Lantas bagaimana sajakah latihan mengasah kemampuan otak kanan?

Banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan kecerdasan otak kanan. Berikut ini beberapa tips yang barangkali bisa dilakukan : pertama bangkitkan kemampuan bawah sadar kita. Latihan ini sederhana saja, misalnya dengarkan jenis musik lembut dengan mata terpejam, bayangkan dan rasakan alunan musiklembut itu. Jaga kesadaran ikuti irama musik tersebut.

Kedua bangkitkan minat pada aktivitas di alam terbuka. Dekatkan tubuh kita dengan alam dengan beragam aktivitas, misalnya jalan-jalan di pegunungan atau di pantai, berenang, memancing, bersepeda dan sebagainya.

Ketiga, lebih mendekatkan pada hal-hal yang reflektif. Misalnya keagamaan, bagi seorang muslim sholat malam (tahajud), dzikir dalam hati (qolbu) yang bisa dilakukan di mana dan kapan saja diyakini cepat merangsang kecerdasan otak kanan. Kegiatan meditasi atau yoga juga disarankan untuk menumbuhkan kemampuan otak kanan ini.

Keempat, biasakan senantiasa mengelola reflek gerak tubuh kita. Untuk meningkatkan otak rasa ini kesadaran terhadap reflek tangan, kaki, mata, hidung, mulut dsb yang pada situasi tertekan tertentu muncul tiba-tiba musti juga dikelola dengan proporsional. Sadar atau tidak pada situasi stres atau emosi, gerak reflek bagian tubuh tertentu kita kadang-kadang sulit dikendalikan, misalnya mulut gemetar (tremorik). Nah, kesadaran untuk selalu mengelola bagian tubuh itulah yang musti dilakukan. Sekalipun latihan ini sulit namun dengan niat keras bukan mustahil kita mampu senantiasa menyadari setiap gerak reflek yang biasa terjadi.

Kelima, berlatih berpikir secara menyebar (divergen), meloncat-loncat, tidak lurus (linier), berbeda (different) dan upayakan selalu gembira. Banyak sekali latihan yang bisa dilakukan, misalnya membaca kumpulan humor, kegiatan Melukis, melihat gambar2 atau film-film kartun, melontarkan dan mendengarkan joke atau banyolan-banyolan lucu.

Kecerdasan otak kanan memang kian penting saat ini khususnya dibutuhkan para wirausahawan/wati, terlebih di era yang dituntut persaingan kreativitas yang sangat tinggi ini. Dan berpikir kreatif tidak cukup mengandalkan kecanggihan otak kiri, namun kecerdasan otak kanan juga musti optimal. Untuk itulah keselarasan antara otak kiri dan kanan bagi seorang entrepreneur adalah wajib hukumnya.

Lukisan dan Islam

Hikmah Diharamkannya Patung

1) Di antara rahasia diharamkannya patung ini, walaupun dia itu bukan satu-satunya sebab, seperti anggapan sementara orang yaitu untuk membela kemurnian Tauhid, dan supaya jauh dari menyamai orang-orang musyrik yang menyembah berhala-berhala mereka yang dibuatnya oleh tangan-tangan mereka sendiri, kemudian dikuduskan dan mereka berdiri di hadapannya dengan penuh khusyu'.

Kesungguhan Islam untuk melindungi Tauhid dari setiap macam penyerupaan syirik telah mencapai puncaknya. Islam dalam ikhtiarnya ini dan kesungguhannya itu senantiasa berada di jalan yang benar. Sebab sudah pernah terjadi di kalangan umat-umat terdahulu, dimana mereka itu membuat patung orang-orang yang saleh mereka yang telah meninggal dunia kemudian disebut-sebutnya nama mereka itu. Lama-kelamaan dan dengan sedikit demi sedikit orang-orang saleh yang telah dilukiskan dalam bentuk patung itu dikuduskan, sehingga akhirnya dijadikan sebagai Tuhan yang disembah selain Allah; diharapkan, dan ditakuti serta diminta barakahnya. Hal ini pernah terjadi pada kaum Wud, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr.

Tidak heran kalau dalam suatu agama yang dasar-dasar syariatnya itu selalu menutup pintu kerusakan, bahwa akan ditutup seluruh lubang yang mungkin akan dimasuki oleh syirik yang sudah terang maupun yang masih samar untuk menyusup ke dalam otak dan hati, atau jalan-jalan yang akan dilalui oleh penyerupaan kaum penyembah berhala dan pengikut-pengikut agama yang suka berlebih-lebihan. Lebih-lebih Islam itu sendiri bukan undang-undang manusia yang ditujukan untuk satu generasi atau dua generasi, tetapi suatu undang-undang untuk seluruh umat manusia di seantero dunia ini sampai hari kiamat nanti. Sebab sesuatu yang kini masih belum diterima oleh suatu lingkungan, tetapi kadang-kadang dapat diterima oleh lingkungan lain; dan sesuatu yang kini dianggap ganjil dan mustahil, tetapi di satu saat akan menjadi suatu kenyataan, entah kapan waktunya, dekat atau jauh.

2) Rahasia diharamkannya patung bagi pemahatnya, sebab seorang pelukis yang sedang memahat patung itu akan diliputi perasaan sok, sehingga seolah-olah dia dapat menciptakan suatu makhluk yang tadinya belum ada atau dia dapat membuat jenis baru yang bisa hidup yang terbuat dari tanah.

Sudah sering terjadi seorang pemahat patung dalam waktu yang relatif lama, maka setelah patung itu dapat dirampungkan lantas dia berdiri di hadapan patung tersebut dengan mengaguminya, sehingga seolah-olah dia berbicara dengan patung tersebut dengan penuh kesombongan: Hai patung! Bicaralah!

Untuk itulah maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Sesungguhnya orang-orang yang membuat patung-patung ini nanti di hari kiamat akan disiksa dan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah patung yang kamu buat itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam hadis Qudsi, Allah s.w.t. berfirman pula:

"Siapakah orang yang lebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat sesuatu seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah (benda yang kecil), cobalah mereka membuat sebutir beras belanda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

3) Orang-orang yang berbicara dalam persoalan seni ini tidak berhenti dalam suatu batas tertentu saja, tetapi mereka malah melukis (memahat) wanita-wanita telanjang atau setengah telanjang. Mereka juga melukis (dan juga memahat) lambang-lambang kemusyrikandan syiar-syiar agama lainnya, seperti salib, berhala dan lain-lain yang pada prinsipnya tidak dapat diterima oleh Islam.

4) Lebih dari itu semua, bahwa patung-patung itu selalu menjadi kemegahan orang-orang yang berlebihan, mereka penuhinya istana-istana mereka dengan patung-patung, kamar-kamar mereka dihias dengan patung dan, mereka buatnya seni-seni pahat (patung) dari berbagai lambang.

Kalau agama Islam dengan gigih memberantas seluruh bentuk kemewahan dengan segala kemegahan dan macamnya, yang terdiri dari emas dan perak, maka tidak terlalu jauh kalau agama ini mengharamkan patung-patung itu, sebagai lambang kemegahan, dalam rumah-rumah orang Islam.

Bimbingan Islam dalam Mengabadikan Orang Besar

Barangkali akan ada orang berkata: Apakah tidak memenuhi suatu maksud umat untuk mengembalikan sebagian keindahan yang pernah dicapai oleh orang-orang besar kita yang telah berhasil mengisi lembaran sejarah yang berharga itu, lantas para pembesar itu diabadikan dalam bentuk patung agar menjadi peringatan generasi berikutnya terhadap jasa-jasa dan keunggulan yang pernah mereka capai; sebab peringatan bangsa itu sering dilupakan dan pertukaran malam dan siang itu sendiri sebenarnya yang membawa lupa?

Untuk menjawab persoalan ini, perlu dijelaskan, bahwa Islam samasekali tidak suka berlebih-lebihan dalam menghargai seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang tersebut, baik mereka yang masih hidup ataupun yang sudah mati.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

"Jangan kamu menghormat aku seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa bin Maryam, tetapi katakanlah, bahwa Muhammad itu hamba Allah dan RasulNya." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)

Mereka bermaksud akan berdiri apabila melihat Nabi, sebagai suatu penghormatan kepadanya dan untuk mengagungkan kedudukannya.

Cara semacam itu dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:

"Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)

Beliau pun memberikan suatu peringatan kepada umatnya, sikap yang berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi sesudah beliau mati, maka bersabdalah Nabi sebagai berikut:

"Jangan kamu menjadikan kuburku ini sebagai tempat hariraya." (Riwayat Abu Daud)

Dan dalam doanya kepada Tuhannya beliau mengatakan:

"Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah." (Riwayat Malik)

Ada beberapa orang datang kepada Nabi s.a.w., mereka itu memanggil Nabi dengan kata-katanya:

"Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami."

Mendengar panggilan seperti itu, Nabi kemudian menegurnya dengan sabdanya sebagai berikut:

"Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh syaitan. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan pesuruhNya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tempatkan aku." (Riwayat Nasa'i)

Agama ini (baca Islam) pendiriannya dalam masalah menghormat orang, tidak suka seseorang itu diangkat-angkat seperti berhala yang didirikan dengan biaya beribu-ribu supaya orang-orang memberikan penghormatan kepadanya.

Banyak sekali material yang dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran dan jurukunci tempat-tempat bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut dan ekornya yang telah mampu mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada hakikatnya mereka ini telah menyesatkan rakyat dengan menggunakan orang-orang besar yang jujur itu.

Keabadian hakiki yang dikenal di kalangan umat Islam hanyalah Allah yang mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak lupa. Sedang kebanyakan para pembesar yang namanya diabadikan di sisi Allah adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal oleh manusia. Hal ini justru karena Allah suka kepada orang-orang yang baik, taqwa dan tidak perlu menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila datang tidak dikenal, dan apabila pergi tidak dicari.

Sekalipun keabadian itu sangat perlu bagi manusia, tetapi tidak mesti dengan didirikannya patung untuk orang-orang besar yang perlu diabadikan itu. Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh Islam ialah mengabadikan mereka itu ke dalam hati dan lisan, yaitu dengan menyebut kesuksesan perjuangan mereka dan peninggalan-peninggalan yang baik-baik yang ditinggalkan untuk generasi sesudah mereka. Dengan demikian mereka itu akan selalu menjadi sebutan orang-orang belakangan.

Rasulullah s.a.w. sendiri dan begitu juga para khalifah dan pemuka-pemuka Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat.

Keabadian mereka itu semata-mata adalah karena sifat-sifat baiknya (manaqibnya) yang diceriterakan oleh orang-orang dulu (salaf) kepada orang-orang belakangan (khalaf) dan yang diceriterakan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya. Sifat beliau itu tertanam dalam hati, selalu disebut dalam lisan, selalu mengumandang di majlis dan klub-klub serta memenuhi hati, walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan gambar.

Rukhsah Dalam Permainan Anak-Anak

Kalau macam daripada patung itu tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan dan tidak berlebih-lebihan serta tidak ada suatu unsur larangan di atas, maka dalam hal ini Islam tidak akan bersempit dada dan tidak menganggap hal tersebut suatu dosa. Misalnya permainan anak-anak berupa pengantin-pengantinan, kucing-kucingan, dan binatang-binatang lainnya. Patung-patung ini semua hanya sekedar pelukisan untuk permainan dan menghibur anak-anak.

Oleh karena itu kata Aisyah:

"Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah s.a.w. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah s.a.w., tetapi Rasulullah s.a.w. malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam salah satu riwayat diterangkan:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu hari bertanya kepada Aisyah: Apa ini? Jawab Aisyah: Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku); kemudian Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di tengahnya itu? Jawab Aisyah: Kuda. Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di atasnya itu? Jawab Aisyah: Itu dua sayapnya. Kata Rasulullah: Apa ada kuda yang bersayap? Jawab Aisyah: Belumkah engkau mendengar, bahwa Sulaiman bin Daud a.s. mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap? Kemudian Rasulullah tertawa sehingga nampak gigi gerahamnya." (Riwayat Abu Daud)

Yang dimaksud anak-anak perempuan di sini ialah boneka pengantin yang biasa dipakai permainan oleh anak-anak kecil. Sedang Aisyah waktu itu masih sangat muda.

Imam Syaukani mengatakan: hadis ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki yang akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh berpendapat bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu suatu rukhsah (keringanan).

Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat dari kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian tidak lama kue-kue tersebut dimakannya.

Patung yang Tidak Sempurna dan Cacat

Di dalam hadis disebutkan, bahwa Jibril a.s. tidak mau masuk rumah Rasulullah s.a.w. karena di pintu rumahnya ada sebuah patung. Hari berikutnya pun tidak mau masuk, sehingga ia mengatakan kepada Nabi Muhammad:

"Perintahkanlah supaya memotong kepala patung itu. Maka dipotonglah dia sehingga menjadi seperti keadaan pohon." (Riwayat Abu Daud, Nasai, Tarmizi dan Ibnu Hibban)

Dari hadis ini segolongan ulama ada yang berpendapat diharamkannya gambar itu apabila dalam keadaan sempurna, tetapi kalau salah satu anggotanya itu tidak ada yang kiranya tanpa anggota tersebut tidak mungkin dapat hidup, maka membuat patung seperti itu hukumnya mubah,

Tetapi menurut tinjauan yang benar berdasar permintaan Jibril untuk memotong kepala patung sehingga menjadi seperti keadaan pohon, bahwa yang mu'tabar (diakui) di sini bukan karena tidak berpengaruhnya sesuatu anggota yang kurang itu terhadap hidupnya patung tersebut, atau patung itu pasti akan mati jika tanpa anggota tersebut. Namun yang jelas, patung tersebut harus dicacat supaya tidak terjadi suatu kemungkinan untuk diagungkannya setelah anggotanya tidak ada.

Cuma suatu hal yang tidak diragukan lagi, jika direnungkan dan kita insafi, bahwa patung separuh badan yang dibangun di kota guna mengabadikan para raja dan orang-orang besar, haramnya lebih tegas daripada patung kecil satu badan penuh yang hanya sekedar untuk hiasan rumah.

Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang sekarang dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran, seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?

Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya? Dan apa tujuan pelukisnya itu?

Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas, tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:

"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orang-orang yang menggambar." (Riwayat Muslim)

Imam Thabari berkata: "Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja."

Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim, kecuali kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.

Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang mengatakan:

"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Muslim)

Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.

Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:

"Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata "dzahaba yakhluqu kakhalqi" (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini menunjukkan adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka supaya membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu nanti dan mengatakan kepada mereka: "Hidupkan apa yang kamu cipta itu!" Mereka dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan mampu.

Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan secara keduniaan.

Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.

Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan umat.

Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya, adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada pemimpin-pemimpin agama dan negara.

Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut: Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak! Ini adalah patung Maryam.

Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.

Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas'ud menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis."

Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.

Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak haram. Dasar daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:

"Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar." (Riwayat Muslim)

Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia, tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah memberitahumu tentang gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata: Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata: "Kecuali gambar di pakaian."

Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di rumah Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin Hanif. Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di bawahnya (karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah: Mengapa kau cabut dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahal kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata: "Kecuali gambar yang ada di pakaian?" Abu Talhah kemudian menjawab: Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku." (Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)

Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung? Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.

Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar barang-barang rendahan.

Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu Talhah al-Ansari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu Talhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga demikian? Maka kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan, kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga disobek atau dipotong sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya: Kemudian kain itu saya potong daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu." (Riwayat Muslim)

Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena memberikan pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.

Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk menunjukkan wajib, sunnat atau haram.

Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan Aisyah pula, ia berkata:

"Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku: Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat dunia."(Riwayat Muslim)

Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya, tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan ketidaksukaan Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih beliau selalu sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden yang bergambar sering memalingkan hati daripada kekhusyu'an dan pemusatan menghadap untuk bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:

"Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku." (Riwayat Bukhari)

Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung dan sebagainya.

Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat: "Bahwa gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak menqapa."27

Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi yang mengatakan: "Siapakah yang terlebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras belanda!" (Riwayat Bukhari).

Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:

"Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka." (ali-Imran: 6)

Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan Aisyah, dalam salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:

"Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran." (Riwayat Muslim)

Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal sebagai berikut:

1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan, bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.

2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang kemakruhannya itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan semacam berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu dalam Riwayat Muslim, ia berkata: ''Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian pada batu dan tanah."

3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh dipindahkan, dengan kata-katanya: "Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu ingat dunia!" Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.

4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga, kemudian oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: "Hadis ini dengan hadis di atas sukar sekali dikompromikan (jama'), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya, dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan semata-mata karena gambarnya itu an sich.

Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama' hadis-hadis tersebut sebagai berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis kedua gambar selain binatang ... Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.

5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: "Dua hadis itu dapat dijama' sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh di atas." Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.

6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Aun, ia berkata: "Saya masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada korden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda."28

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang bergambar dan menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah." Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak akan menggunakannya.29

Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau tidak suka adanya tabir/korden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk juga dalam kertas dan dinding.

Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara' melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian, karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara' pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang.30

Gambar yang Terhina adalah Halal

Setiap perubahan dalam masalah gambar yang tidak mungkin diagung-agungkan sampai kepada yang paling hina, dapat pindah dari lingkungan makruh kepada lingkungan halal. Dalam hal ini ada sebuah hadis yang menerangkan, bahwa Jibril a.s. pernah minta izin kepada Nabi untuk masuk rumahnya, kemudian kata Nabi kepada Jibril:

"Masuklah! Tetapi Jibril menjawab: Bagaimana saya masuk, sedang di dalam rumahmu itu ada korden yang penuh gambar! Tetapi kalau kamu tetap akan memakainya, maka putuskanlah kepalanya atau potonglah untuk dibuat bantal atau buatlah tikar." (Riwayat Nasa'i Ban Ibnu Hibban)

Oleh karena itulah ketika Aisyah melihat ada tanda kemarahan dalam wajah Nabi karena ada korden yang banyak gambarnya itu, maka korden tersebut dipotong dan dipakai dua sandaran, karena gambar tersebut sudah terhina dan jauh daripada menyamai gambar-gambar yang diagung-agungkan.

Beberapa ulama salaf pun ada yang memakai gambar yang terhina itu, dan mereka menganggap bukan suatu dosa. Misalnya Urwah, dia bersandar pada sandaran yang ada gambarnya, di antaranya gambar burung dan orang lakilaki. Kemudian Ikrimah berkata: Mereka itu memakruhkan gambar yang didirikan (patung) sedang yang diinjak kaki, misalnya di lantai, bantal dan sebagainya, mereka menganggap tidak apa-apa.

Photografi

Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa semua persoalan gambar dan menggambar, yang dimaksud ialah gambar-gambar yang dipahat atau dilukis, seperti yang telah kami sebutkan di alas.

Adapun masalah gambar yang diambil dengan menggunakan sinar matahari atau yang kini dikenal dengan nama fotografi, maka ini adalah masalah baru yang belum pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. dan ulama-ulama salaf. Oleh karena itu apakah hal ini dapat dipersamakan dangan hadis-hadis yang membicarakan masalah melukis dan pelukisnya seperti tersebut di atas?

Orang-orang yang berpendirian, bahwa haramnya gambar itu terbatas pada yang berjasad (patung), maka foto bagi mereka bukan apa-apa, lebih-lebih kalau tidak sebadan penuh. Tetapi bagi orang yang berpendapat lain, apakah foto semacam ini dapat dikiaskan dengan gambar yang dilukis dengan menggunakan kuasa? Atau apakah barangkali illat (alasan) yang telah ditegaskan dalam hadis masalah pelukis, yaitu diharamkannya melukis lantaran menandingi ciptaan Allah --tidak dapat diterapkan pada fotografi ini? Sedang menurut ahli-ahli usul-fiqih kalau illatnya itu tidak ada, yang dihukum pun (ma'lulnya) tidak ada.

Jelasnya persoalan ini adalah seperti apa yang pernah difatwakan oleh Syekh Muhammad Bakhit, Mufti Mesir: "Bahwa fotografi itu adalah merupakan penahanan bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel). Cara semacam ini sedikitpun tidak ada larangannya.

Karena larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar yang semula tidak ada dan belum dibuat sebelumnya yang bisa menandingi (makhluk) ciptaan Allah. Sedang pengertian semacam ini tidak terdapat pada gambar yang diambil dengan alat (tustel)."31

Sekalipun ada sementara orang yang ketat sekali dalam persoalan gambar dengan segala macam bentuknya, dan menganggap makruh sampai pun terhadap fotografi, tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka pun akan memberikan rukhshah terhadap hal-hal yang bersifat darurat karena sangat dibutuhkannya, atau karena suatu maslahat yang mengharuskan, misalnya kartu pendliduk, paspor, foto-foto yang dipakai alat penerangan yang di situ sedikitpun tidak ada tanda-tanda pengagungan. atau hal yang bersifat merusak aqidah. Foto dalam persoalan ini lebih dibutuhkan daripada melukis dalam pakaian-pakaian yang oleh Rasulullah sendiri sudah dikecualikannya.

Subjek Gambar

Yang sudah pasti, bahwa subjek gambar mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya. Misalnya gambar yang subjeknya itu menyalahi aqidah dan syariat serta tata kesopanan agama, semua orang Islam mengharamkannya.

Oleh karena itu gambar-gambar perempuan telanjang, setengah telanjang, ditampakkannya bagian-bagian anggota khas wanita dan tempat-tempat yang membawa fitnah, dan digambar dalam tempat-tempat yang cukup membangkitkan syahwat dan menggairahkan kehidupan duniawi sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah, surat-surat khabar dan bioskop, semuanya itu tidak diragukan lagi tentang haramnya baik yang menggambar, yang menyiarkan ataupun yang memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, toko-toko dan digantung di dinding-dinding. Termasuk juga haramnya kesengajaan untuk memperhatikan gambar-gambar tersebut.

Termasuk yang sama dengan ini ialah gambar-gambar orang kafir, orang zalim dan orang-orang fasik yang oleh orang Islam harus diberantas dan dibenci dengan semata-mata mencari keridhaan Allah. Setiap muslim tidak halal melukis atau menggambar pemimpin-pemimpin yang anti Tuhan, atau pemimpin yang menyekutukan Allah dengan sapi, api atau lainnya, misalnya orang-orang Yahudi, Nasrani yang ingkar akan kenabian Muhammad, atau pemimpin yang beragama Islam tetapi tidak mau berhukum dengan hukum Allah; atau orang-orang yang gemar menyiarkan kecabulan dan kerusakan dalam masyarakat seperti bintang-bintang film dan biduan-biduan.

Termasuk haram juga ialah gambar-gambar yang dapat dinilai sebagai menyekutukan Allah atau lambang-lambang sementara agama yang samasekali tidak diterima oleh Islam, gambar berhala, salib dan sebagainya.

Barangkali seperai dan bantal-bantal di zaman Nabi banyak yang memuat gambar-gambar semacam ini. Oleh karena itu dalam riwayat Bukhari diterangkan; bahwa Nabi tidak membiarkan salib di rumahnya, kecuali dipatahkan.

Ibnu Abbas meriwayatkan:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a. w. pada waktu tahun penaklukan Makkah melihat palung-patung di dalam Baitullah, maka ia tidak mau masuk sehingga ia menyuruh, kemudian dihancurkan." (Riwayat Bukhari).

Tidak diragukan lagi, bahwa patung-patung yang dimaksud adalah patung yang dapat dinilai sebagai berhala orang-orang musyrik Makkah dan lambang kesesatan mereka di zaman-zaman dahulu.

Ali bin Abu Talib juga berkata:

"Rasulullah s.a.w. dalam (melawat) suatu jenazah ia bersabda: Siapakah di kalangan kamu yang akan pergi ke Madinah, maka jangan biarkan di sana satupun berhala kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan ada satupun kubur (yang bercungkup) melainkan harus kamu ratakan dia, dan jangan ada satupun gambar kecuali harus kamu hapus dia? Kemudian ada seorang laki-laki berkata: Saya! Ya, Rasulullah! Lantas ia memanggil penduduk Madinah, dan pergilah si laki-laki tersebut. Kemudian ia kembali dan berkata: Saya tidak akan membiarkan satupun berhala kecuali saya hancurkan dia, dan tidak akan ada satupun kuburan (yang bercungkup) kecuali saya ratakan dia dan tidak ada satupun gambar kecuali saya hapus dia. Kemudian Rasulullah bersabda: Barangsiapa kembali kepada salah satu dari yang tersebut maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w." (Riwayat Ahmad; dan berkata Munziri: Isya Allah sanadnya baik)32

Barangkali tidak lain gambar-gambar/patung-patung yang diperintahkan Rasulullah s.a.w. untuk dihancurkan itu, melainkan karena patung-patung tersebut adalah lambang kemusyrikan jahiliah yang oleh Rasulullah sangat dihajatkan kota Madinah supaya bersih dari pengaruh-pengaruhnya. Justru itulah, kembali kepada hal-hal di atas berarti dinyatakan kufur terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Kesimpulan Hukum Gambar dan Yang Menggambar

Dapat kami simpulkan hukum masalah gambar dan yang menggambar sebagai berikut:

  1. Macam-macam gambar yang sangat diharamkan ialah gambar-gambar yang disembah selain Allah, seperti Isa al-Masih dalam agama Kristen. Gambar seperti ini dapat membawa pelukisnya menjadi kufur, kalau dia lakukan hal itu dengan pengetahuan dan kesengajaan.
    Begitu juga pemahat-pemahat patung, dosanya akan sangat besar apabila dimaksudkan untuk diagung-agungkan dengan cara apapun. Termasuk juga terlibat dalam dosa, orang-orang yang bersekutu dalam hal tersebut.
  2. Termasuk dosa juga, orang-orang yang melukis sesuatu yang tidak disembah, tetapi bertujuan untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat mencipta jenis baru dan membuat seperti pembuatan Allah. Kalau begitu keadaannya dia bisa menjadi kufur. Dan ini tergantung kepada niat si pelukisnya itu sendiri.
  3. Di bawah lagi patung-patung yang tidak disembah, tetapi termasuk yang diagung-agungkan, seperti patung raja-raja, kepala negara, para pemimpin dan sebagainya yang dianggap keabadian mereka itu dengan didirikan monumen-monumen yang dibangun di lapangan-lapangan dan sebagainya. Dosanya sama saja, baik patung itu satu badan penuh atau setengah badan.
  4. Di bawahnya lagi ialah patung-patung binatang dengan tidak ada maksud untuk disucikan atau diagung-agungkan, dikecualikan patung mainan anak-anak dan yang tersebut dari bahan makanan seperti manisan dan sebagainya.
  5. Selanjutnya ialah gambar-gambar di pagan yang oleh pelukisnya atau pemiliknya sengaja diagung-agungkan seperti gambar para penguasa dan pemimpin, lebih-lebih kalau gambar-gambar itu dipancangkan dan digantung. Lebih kuat lagi haramnya apabila yang digambar itu orang-orang zalim, ahli-ahli fasik dan golongan anti Tuhan. Mengagungkan mereka ini berarti telah meruntuhkan Islam.
  6. Di bawah itu ialah gambar binatang-binatang dengan tidak ada maksud diagung-agungkan, tetapi dianggap suatu manifestasi pemborosan. Misalnya gambar gambar di dinding dan sebagainya. Ini hanya masuk yang dimakruhkan.
  7. Adapun gambar-gambar pemandangan, misalnya pohon-pohonan, korma, lautan, perahu, gunung dan sebagainya, maka ini tidak dosa samasekali baik si pelukisnya ataupun yang menyimpannya, selama gambar-gambar tersebut tidak melupakan ibadah dan tidak sampai kepada pemborosan. Kalau sampai demikian, hukumnya makruh.
  8. Adapun fotografi, pada prinsipnya mubah, selama tidak mengandung objek yang diharamkan, seperti disucikan oleh pemiliknya secara keagamaan atau disanjung-sanjung secara keduniaan. Lebih-lebih kalau yang disanjung-sanjung itu justru orang-orang kafir dan ahli-ahli fasik, misalnya golongan penyembah berhala, komunis dan seniman-seniman yang telah menyimpang.
  9. Terakhir, apabila patung dan gambar yang diharamkan itu bentuknya diuubah atau direndahkan (dalam bentuk gambar), maka dapat pindah dari lingkungan haram menjadi halal. Seperti gambar-gambar di lantai yang biasa diinjak oleh kaki dan sandal.