...dan ketika sebuah bangsa telah lengah, yang tersisa dari sejarah hanya dinding-dinding bisu yang berdarah (anonim) Dokumentasi arsitektur kolonial di Malang di masa lalu Tiga baris puisi di atas mengandung pesan yang dalam tentang nilai sejarah bagi sebuah bangsa. Nyatalah bahwa kemampuan untuk menghargai sejarah dan mengambil pelajaran darinya ternyata sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa itu sendiri. Sebuah kalimat yang telah sering kita dengar menyampaikannya lebih singkat, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Di dalam setiap sejarah berkumpul berbagai unsur pembentuknya: manusia, peristiwa, waktu, dan tempat. Keempatnya bersinergi membentuk informasi yang utuh bagi keberlanjutan sebuah sejarah. Walaupun demikian, telah nyata bahwa manusia tak dapat hidup selamanya, peristiwa pun datang dan pergi hanya sekali, sementara waktu tak dapat berputar kembali. Hanya tempat yang bertahan menjadi saksi bagi sejarah. Hanya tempat yang tetap tinggal dan dijadikan wadah persinggahan waktu. Ketika sejarah tidak lagi memiliki makna di hati sebuah bangsa, seperti diungkapkan baris-baris puisi di atas, maka yang tersisa dari suatu tempat (place) hanyalah ruang (space) yang tidak lagi punya makna. Lalu, apakah peran arsitektur bagi sebuah sejarah? Arsitektur hadir sebagai bagian dari tempat, sebagai salah satu unsur pembentuk sejarah. Arsitektur merupakan penanda yang memberikan identitas bagi sebuah tempat. Ia lantas memiliki peran yang signifikan bagi keberlanjutan sejarah dalam memori generasi berikutnya. Kecuali sebuah bangsa telah kehilangan penghargaannya terhadap sejarah, arsitektur dari masa lalu semestinya tetap dapat memberikan pelajaran berharga bagi bangsa itu di episode-episode generasi selanjutnya. Dokumentasi arsitektur kolonial di Malang di masa lalu Arsitektur Kolonial, Perlukah Dipertahankan? Jika uraian singkat di atas kita hubungkan dengan fenomena perubahan besar-besaran pada wajah kota di Indonesia, maka sekilas akan dapat kita tarik kesimpulan sepihak: Bangsa ini tampaknya makin kehilangan penghargaannya terhadap sejarah. Kesimpulan ini mungkin masih bersifat sangat subyektif. Walaupun begitu, ia tetap dapat dijadikan bahan refleksi berharga bagi setiap usaha untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang besar, bukan semata-mata dalam jumlah penduduknya, namun lebih pada kualitas kepribadiannya. Pasar besar Malang, bangunan tua kolonial Yang telah digantikan wajah baru arsitektur modern Arsitektur kolonial, sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air, merupakan salah satu bagian wajah kota yang kian tercarut oleh keadaan ini. Salah satu contoh; di kota Malang, usaha-usaha peremajaan kota yang hanya mempertimbangkan faktor ekonomi dan bisnis telah mengorbankan banyak pertimbangan lainnya, di antaranya faktor kesejarahan. Meskipun demikian, masih dapat kita lihat sisa-sisa peninggalan arsitektur kolonial yang berdiri dengan tegar, walaupun sebagian besar berada dalam kondisi seadanya dan kurang terurus. Dokumentasi arsitektur kolonial di Malang di masa lalu Diakui atau tidak, masa kolonial Belanda sedikit banyak telah memberi pengaruh positif dalam perkembangan arsitektur kota ini. Dibandingkan dengan arsitektur tahun 90-an, jejak-jejak arsitektur kolonial terasa lebih banyak memberikan warna yang khas bagi kota Malang hingga saat ini. Karakteristiknya yang kuat menjadikan arsitektur kolonial sebagai langgam yang sangat dikenal, bahkan oleh orang-orang yang lahir jauh setelah masa kemerdekaan. Sebuah bangunan indah karya arsitek Belanda di Malang, yang digunakan sebagai tempat berkumpul para bangsawan Belanda.
Digantikan oleh arsitektur modern "kamar mandi" (karena berlapis keramik putih dan merah seperti kamar mandi), sekarang telah berubah wajah sekali lagi, menjadi 'arsitektur Mall' Dalam wacana arsitektur, langgam arsitektur ini bukannya sama sekali terbebas dari kontroversi. Beragam pertanyaan dan pernyataan mengenai perlu tidaknya mempertahankan bangunan-bangunan yang notabene merupakan peninggalan para penjajah kerap kali muncul di dalam forum-forum diskusi. Sebagian pihak mempertanyakan hal ini dengan semangat nasionalisme yang tinggi, namun sebagian lainnya tampaknya lebih memanfaatkan wacana ini sebagai kedok yang sempurna bagi kepentingan pribadi dan keuntungan ekonomi mereka. Terlepas dari berbagai wacana di atas, sudut pandang keilmuan arsitektur dengan segala pertimbangan komposisi, estetika, proporsi dan sebagainya, tampaknya bersepakat akan tingginya ’nilai arsitektural’ bangunan-bangunan kolonial ini. Diakui ataupun tidak, kekuatan karakteristik yang ditampilkan oleh obyek-obyek arsitektur kolonial itu memang telah benar-benar mempercantik wajah kota kita. Kenyataan ini mestinya dapat menggugah usaha kita untuk tetap mempertahankannya. Jika tidak, mungkin inilah saatnya membuktikan kebenaran pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu yang benar-benar indah akan dapat bertahan dengan sendirinya. Thus the real beauty will last after all… *** . Memori akan sebuah Penjajahan Oleh; Probo Hindarto Penjajahan tidaklah menyenangkan, meskipun bangunan-bangunan itu indah dan sejarah tidak terlupakan, tetap teringat sebuah kondisi bangsa, rakyat dan hak manusia dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga membuat tubuh bangsa ini kering seperti tak bernyawa. Kolonialisme dari sisi kolonial membawa keuntungan ekonomis berlipat ganda, namun dari sisi pribumi Nusantara, membawa dampak pemiskinan dan perbudakan. Barangkali, dengan itu kita menjadi emosional, bila melihat bangunan-bangunan kolonial itu, menyisakan sebuah rasa iba, yang belum terobati kecuali dengan menata kembali tubuh negeri yang porak-poranda, dan kita tak mampu pula merobohkannya; sebuah memori yang pahit sekaligus patut dikenang. Meski ada pula mereka yang cukup tega, merobohkan sisa-sisa dinding yang menceritakan seribu cerita. Perbudakan, dilegalisasi oleh VOC, keramah-tamahan sebuah negeri perawan yang disalahgunakan... (Sumber; http://www.swaramuslim.com/galery/sejarah/index.php?page=VOC) Sebuah pawai bangsawan di negeri pribumi Namun dengan mencoba memikirkan kembali, apakah kita masih bermental 'terjajah' atau 'merdeka', adalah sebuah keputusan; untuk mengagumi atau melecehkan, mendukung atau merobohkan, menghadap atau berpaling,... finally; we have a choice" | Masih teringat beberapa waktu lalu, dalam mailing list AMI, sebuah petisi penolakan pembongkaran bangunan Pasar Johar di Semarang, diikuti oleh ratusan anggota mailing list, yang didukung oleh ketua IAI Jakarta; Ahmad Djuhara serta berbagai tokoh dari kalangan arsitektur, dan menarik perhatian anggota milis lain yang tersebar di pelosok Indonesia, bahkan terdapat email yang menyertakan beberapa puluh orang yang berkonsensus untuk menolak rencana pembongkaran pasar Johar. Pasar Johar adalah contoh nasib sebuah bangunan kolonial di tangan negeri yang ditinggalkan koloni penjajahnya, membuat kita berjibaku dengan peninggalan-peninggalan yang megah yang belum mampu lagi kita bangkitkan kejayaannya, karena intelektual dibalik pembangunan itu, ikut juga bersama perginya si kolonial, menyisakan puing yang mampu membuat kita terkagum-kagum.
Pasar Johar, Semarang. Sumber; http://www.semarang.go.id/cms/pemerintahan/dinas/pariwisata/gedung/johar.php
Bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial memang patut disimak, karena keberadaannya menyiratkan perkembangan desain arsitektur modern di Indonesia. Pada masa-masa tersebut, para arsitek Belanda banyak membawa pengaruh Eropa di tanah Indonesia, sehingga keberadaan bangunan-bangunan ini juga memberi pengaruh besar bagi arsitektur modern saat ini. Salah satu bukti pengaruh ini adalah bangunan-bangunan terkini kebanyakan mengambil sistem konstruksi yang biasa digunakan dalam arsitektur dari negeri Belanda. Selain itu, bangunan-bangunan tua merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dalam kesehariannya, dimana wajah arsitektur kolonial turut mewarnai sebagian wajah kota, yang menjadi identitas kota. Bangunan-bangunan saat ini juga banyak yang memakai gaya arsitektur kolonial sebagai inspirasi dari desain-desain baru, misalnya desain ruko. Ketika satu-persatu bangunan-bangunan tua ini roboh, atau sengaja dirobohkan, kadang-kadang tanpa suara, tanpa cerita, berganti dengan wajah baru yang terlihat lebih masa kini, pertanyaan-pertanyaan bermunculan; apakah layak bangunan yang menyimpan sejarah itu dirobohkan? Beberapa alasan dikemukakan; kota tidak dapat berdiri dengan bangunan yang itu-itu saja, mempersempit ruang perubahan. Karena itu banyak bangunan tua beralih fungsi, bahkan dihancurkan. Sisi lain yang patut diperhitungkan dari arsitektur Kolonial; setidaknya kita tahu mengapa kita mempertahankannya! Selain sisi bangunan sebagai obyek apresiasi dan mengerti lebih jauh sistem konstruksi yang mendasari sebagian besar sistem konstruksi bangunan yang ada saat ini, arsitektur kolonial juga menyimpan sebuah tantangan untuk dipahami secara lebih dalam. Karena ia adalah representasi dari kehadiran kolonial, yang dari situasi itu terdapat berbagai metafora yang dapat diambil maknanya, maka keberadaan arsitektur kolonial yang dilestarikan membawa kemungkinan adanya kesadaran lebih akan sebuah jatidiri bangsa.
Bukan sebuah jatidiri dimana kita mengekor karya-karya monumental 'nan agung' pada jamannya tersebut, namun lebih kepada melihat kembali, sebuah reposisi akan situasi dimana kita tidak lagi berada dalam kondisi terjajah, namun dalam kondisi merdeka yang mampu melihat kembali kepada masa silam, dan dengan itu menentukan masa depan. Karenanya, bila kita dapat menyadari hal ini, kita dapat memposisikan diri, melihat arsitektur kolonial tidak hanya sebagai 'architectural delight', namun akhirnya menjadi sesuatu yang bermakna, sebuah simbol. Simbol apakah kiranya yang dapat diambil dari arsitektur kolonial, sebuah memori akan penjajahan? Secara umum, dari perspektif bangsa, masa kolonial menyimpan rasa duka, rasa terjajah, tidak bebas, diperbudak, dan sisi gelap sebuah penjajahan. Keberadaannya adalah sebagai 'monumen' bangsa penjajah, maka melihat kembali 'monumen' itu akan mengingatkan kita pada sebuah masa suram, sebuah 'holocaust' seperti masa kekejaman NAZI. Memang tidak sekejam itu, namun dukalara karena lamanya penjajahan mungkin bisa menjadi pembandingnya, belum pula korban dari si terjajah. Untuk itu, maka keberadaan 'monumen-monumen' ini menjadi penting untuk mengingatkan kita, pada kesadaran, setidaknya adanya 'masa-masa suram' yang tidak boleh terjadi lagi dalam kehidupan negeri ini, dengan cara apapun kita berusaha tidak memperbolehkan adanya kolonialisme. *** . . Arsitektur Kolonial sebagai ‘Jiwa’ Jaman oleh : Jolanda Atmadjaja Herlambang Staff Pengajar Jurusan T. Arsitektur – Univ. Gunadarma Depok Arsitektur kolonial tidak sekedar romantisme masa lalu. Tidak sekedar jadi saksi sejarah dan warisan budaya. Arsitektur peninggalan masa kolonial merupakan penanda jaman dan keberadaannya menjadikan arsitektur di Indonesia - secara tidak langsung - sebagai bagian dari perkembangan arsitektur dunia. Terlebih dari itu arsitektur kolonial telah menjadi ‘jiwa’ bagi keberlangsungan kehidupan, dilatarbelakangi beragam kisah pembangunnya, dilema antara idealisme dan pemenuhan kebutuhan kekuasaan politis dari pemerintah Belanda. Kita kenal Henry Maclaine Pont, CF Wolff Schoemaker, Herman Thomas Karsten, dkk. sebagai arsitek yang mampu menjembatani kepentingan politik, sosial, ekonomi dari pemerintah, idealisme pribadi dan kearifan lokal. Mereka secara fleksibel mampu merancang bangunan sesuai konteks lingkungan, peruntukan, pengguna, dll. sekaligus menjadi penentu kebijakan perencanaan kota dan bangunan. Secara aktif membangun dan menerapkan akulturasi juga pendekatan alam dan budaya lokal pada arsitektur, seperti pada bangunan ITB, Villa Isola, gereja Katolik Pohsarang, dll. Kekuatan struktur, kejujuran bahan, juga keoptimalan tata kondisi cahaya dan penghawaan menjadi pertimbangan penting. Kekuatan konsep yang diterapkan dalam arsitektur kota dan bangunan di masa kolonial mencakup aspek fungsi, struktur dan estetika, menjadikan desain utuh, integral, kontekstual. Tidak hanya arsitektur yang dibangun para arsitek setelah abad ke-19, arsitektur yang dibangun sebelum abad ke-19 memiliki kekuatan yang sama. Gaya bangunan yang diterapkan tidak semata-mata berdasar selera ataupun sebagai media penunjukan kekuasaan politis, seperti melulu memilih gaya Klasik Eropa saja tanpa pertimbangan aspek teknis dan kegunaan. Ada keunikan sendiri yang mendasari pemilihan gaya bangunan. Estetika bangunan bersifat kontekstual. Sebagai contoh pada bangunan gereja masa kolonial yang dibangun di sekitar pusat pemerintahan cenderung menerapkan gaya Eropa (Gotik,Renaisans,Yunani,dll.). Kecenderungan penerapan Gotik sebagai gaya bangunan pada bangunan gereja Katolik, seperti Katedral Jakarta dan Bandung, dilatarbelakangi masa puncak orientasi iman pada Gereja Katolik di Abad Pertengahan (era Gotik) sebagai acuan. Sementara gaya Renaisans, Barok, Klasik Baru cenderung diterapkan pada bangunan gereja Kristen Protestan, seperti GPIB ‘Immanuel’ Jakarta, Bandung dan gereja ‘Blendhug’ Semarang. Hal ini mengacu pada masa Renaisans, yang diawali oleh reformasi terhadap kekuasaan Gereja Katolik yang dianggap telah menyimpang dan akhirnya melahirkan ajaran Kristen Protestan. Katedral Jakarta (1891-1901) arsitek : Anton Dijkmans SJ, Marius J. Hulstwit, van Es (Sumber gambar : http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Katedral_Jakarta) Gaya Gotik diterapkan melalui penerapan menara, ruang tengah (nave), arcade, triforium, bentuk dasar salib, kaca patri, ribbed-vault, rose marry window, bentuk pointed-arch pada dinding, kolom dengan ornamen tumbuhan (foliated-capital) | Sumber gambar: http://dipotret.blogspot.com/2007_02_01_archive.html GPIB ‘Immanuel’ Gambir – Jakarta (1835 – 1839) Penerapan gaya Renaisans, Klasik Baru pada tiang-tiang bergaya Yunani seperti dorik, struktur kubah, denah lingkaran, detail interior lain Sumber gambar : http://members.tripod.com/alifuru/jakarta/ts_mbetawi.htm | Sementara untuk rumah tinggal dan bangunan publik cenderung menerapkan perpaduan arsitektur tropis dengan gaya Eropa. Pada banyak kasus konsep tradisional Hindu Jawa seperti orientasi Utara-Selatan juga diterapkan. Penerapan bahan alam, kejujuran konstruksi, pertimbangan optimal tata cahaya alami dan penghawaan cenderung pula diterapkan. Sebagai penanda jaman arsitektur kolonial secara tidak langsung telah memberi kontribusi bagi perkembangan arsitektur dunia. Di akhir abad ke-19 saat arsitektur di Eropa menerapkan konsep eklektik - arsitektur di Indonesia diwarnai pula dengan munculnya beragam penerapan gaya seperti Gotik pada bangunan Katedral, Renaisans pada gereja Protestan dan beberapa bangunan museum. Di saat konsep purisme merebak - di Bandung banyak didirikan bangunan bergaya Art Deco, seperti Hotel Savoy Homann, bangunan di Braga, dll. Hal-hal tersebut menjadi bukti bahwa keterlibatan arsitek Belanda dalam pembangunan kota dan bangunan di Indonesia memberi kontribusi tidak hanya dalam bentuk pengolahan potensi budaya lokal, namun pula memberi wacana tentang perkembangan arsitektur mutakhir di masa tersebut. Suatu upaya besar yang wajib kita hargai dan lestarikan baik secara fisik maupun spiritual. Selain banyaknya kasus pembongkaran bangunan kolonial, hal memprihatinkan tentang warisan masa lalu yang terjadi di masa kini antara lain adalah pergeseran fungsi alun-alun. Konsep simbolik (orientasi Utara – Selatan, profan – sakral, peletakan Mesjid di Barat,dll.) pada alun-alun masa kerajaan di Jawa dipertahankan keberadaannya di masa kolonial, walau dengan perubahan pada fungsi pusat pemerintahan. Pada saat ini fungsi alun-alun cenderung tergantikan oleh dominasi sebagai pusat ekonomi. Alun-alun sebagai pusat dari segala bentuk pergerakan kehidupan kota, baik spiritual maupun material, seolah telah kehilangan ‘keseimbangan’nya. Arsitektur kolonial adalah sumber belajar. Terlepas dari latar belakang politis yang melingkupi kemunculannya pada masa lalu, konsep arsitektural yang diterapkan merupakan pemikiran yang menyeluruh tentang manusia, ruang, lingkungan dan waktu. Arsitektur kolonial adalah jiwa jaman. *** |
0 komentar:
Posting Komentar